Welcome

***Selamat datang di blog resmi Sofian Siregar*** Semoga blog ini bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Terimakasih telah berkunjung!

Wednesday, March 6, 2013

Urgensi Undang-Undang Kepresidenan


Membahas tentang urgensi terhadap undang-undang kepresidenan mengingatkan saya bersama dengan teman kelompok saya yang berhasil menjadi Finalis pada Kompetisi Legislative Drafting Padjajaran Law Fair 2012.

Sedikit berbagi wacana dari kelompok kami terhadap urgensi terhadap Undang-Undang Kepresidenan pada postingan berikut ini.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Hal ini termaktub dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu pada pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang merupakan  mandataris Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam artian bahwa lembaga-lembaga negara tersebut memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu. Beberapa diantara lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Komisi Yudisial.

Kedaulatan rakyat mengandung esensi bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan  rakyat. Implikasi dari paham kedaulatan rakyat terlihat dalam keterlibatan rakyat yang ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya melalui pemilihan umum.

Kepresidenan sebagai salah satu pelaksana kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan yang besar, hal ini dapat dilihat dalam konstitusi bahwa kekuasaan kepresidenan tidak hanya menyangkut bidang eksekutif tetapi juga menyangkut bidang lainnya seperti yang diungkapkan oleh C.F.Stong, yang meliputi:


  1. Kekuasaan diplomatik, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. (Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945);
  2. Kekuasaan administratif, yaitu berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang dan administrasi negara. (Pasal 4 ayat (1),  pasal 5 ayat (2), dan  pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945);
  3. Kekusaan militer, yaitu berkaitan dengan organisasi angkatan bersenjata dan pelaksanaan perang. (Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945);
  4. Kekusaan yudikatif, yaitu menyangkut pemberian pengampunan, penangguhan hukuman, dan sebagainya terhadap narapidana atau pelaku kriminal. (Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945);
  5. Kekusaan legislatif, yaitu berkaitan dengan penyusunan rancangan undang-undang dan mengatur proses pengesahannya menjadi undang-undang. (Pasal 5 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945).

Kekuasaan kepresidenan yang besar ini dipengaruhi sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial adalah sistem pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintaahan (head of goverment) sekaligus sebagai kepala negara (head of state).[1] Kekuasaan yang besar cenderung disalahgunakan hal ini sesuai dengan pemikiran Lord Acton, yaitu “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” artinya bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan[2].

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, pernah terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dapat dilihat pada orde lama dan orde baru. Pada orde lama, Presiden Soekarno pernah diangkat sebagai presiden seumur hidup berdasarkan kepada TAP MPRS No.III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pimpinan Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.[3] Pada orde baru, penyelenggaraan pemerintahan yang dijabat oleh Presiden Soeharto selama kurang lebih tiga puluh tahun mengindikasikan bahwa telah terjadi sistem otoriter yang pada dasarnya bertentangan dengan sistem negara demokrasi Indonesia. Pada orde reformasi, tindakan  Presiden K.H. Abdurrahman Wahid yang membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan tindakan yang bertentangan dengan sistem presidensial, sebab dalam sistem presidensial kedudukan eksekutif tidak dapat menjatuhkan legislatif.

Persoalan-persoalan lain yang menyangkut tentang kepresidenan saat ini dapat dilihat dari belum adanya mekanisme pertanggungjawaban presiden sebagai penyelenggara negara, hal ini tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Idealnya dalam sistem demokrasi setiap kekuasaan yang berasal dari rakyat harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tersebut.

Selain itu, dalam penyelenggaran pemerintahan kedudukan presiden sebagai kepala negara dan juga sebagai kepala pemeintahan perlu dipisahkan secara tegas dalam suatu aturan yang baku. Sehingga dapat diketahui tindakan kepresidenan dibidang kenegaraan dan juga dibidang pemerintahan.

Dalam Pasal di 6A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indoensia tahun 1945 dikatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasang secara langsung oleh rakyat. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dikatakan bahwa dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden. Dari kedua redaksi pasal ini secara sekilas, dapat disimpulkan bahwa wakil presiden dan menteri-menteri negara mempunyai kapasitas sebagai pembantu presiden. Namun, yang menjadi permasalahan sekarang adalah membedakan kapasitas wakil presiden dan menteri negara sebagai pembantu presiden.Menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Oleh jarena itu, maka menteri negara bertanggung jawab kepada presiden. Lain halnya dengan wakil presiden, jika ditinjau dalam  pasal 6A ayat (2) dikatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan  secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, wakil presiden sebagai pembantu presiden tidak bertanggung jawab kepada menteri negara sebagaimana halnya  menteri. Wakil presiden sebagai pembantu presiden bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya. Sama halnya dengan presiden, wakil presiden juga merupakan atasan menteri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, wakil presiden dan menteri negara sebgai pembantu presiden merupakan dua hal yang berbeda secara prinsipil. Oleh karena itu agar jangan sampai terjadi hubungan yang tidak harmonis antar presiden dan wakil presiden maka perlu dilakukan pengaturan yang jelas mengenai kedudukan wakil presiden sebagai pembantu presiden.

Kepresidenan merupakan salah satu organ vital dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang merupakan suatu kesatuan sistem dengan organ negara lainnya. Hal ini dapat dianalogikan dengan sistem organ tubuh manusia, ketika salah satu organ tubuh terganggu, maka organ tubuh yang lain juga akan terganggu, apalagi jika organ yang terganggu tersebut adalah organ yang sangat vital yang dapat berdampak kepada kelumpuhan sistem organ tersebut. Sama halnya dengan  kepresidenan merupakan satu kesatuan sistem  dalam upaya penyelenggaraan negara dengan lembaga negara lainnya. Ketika kepresidenan tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka akan mempengaruhi kinerja organ negara lainnya. Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan, kepresidenan tidak terlepas dari sejumlah hak dan kewajiban serta adanya larangan untuk menghindari terjadinya  penyalahgunaan kekuasaan.

Adalah kenyataan bahwa bangsa Indonesia belum memiliki Undang-Undang tentang Kepresidenan. Baik itu pada masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Sebenarnya Rancangan Undang-Undang yang mengatur Kepresidenan sudah disiapkan lewat Program Legislasi Nasional DPR, sejak tahun 1999. Saat itu, pemerintahan Presiden B.J. Habibie menyebutnya Rancangan Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. Tetapi tampaknya hal itu tidak membuahkan hasil. Setelah itu, pada saat Abdurrahman Wahid berkuasa, geliat untuk membuat Rancangan Undang-Undang Kepresidenan juga pernah ada tetapi kemudian redup kembali. Dan desakan untuk membuat Rancangan Undang-Undang Kepresidenan kembali muncul menjelang pelaksanaan Pemilu 2004, dimana rakyat akan secara langsung memilih presiden. Namun hal tersebut juga tidak terealisasi.
Berdasarkan berbagai problema yang terjadi dalam ketatanegaraan Indonesia, maka disinilah letak urgensi mendesak adanya suatu peraturan yang menjadi payung hukum bagi seluruh peraturan perundang-undangan yang memuat subtansi tentang kepresidenan secara komprehensif dengan demikian berlakulah asas peraturan perundang-undangan yang lebih kini mngenyampingkan peraturan perundang-undangan terdahulu. 

Identifikasi Masalah 
Besarnya kekuasaan presiden yang ada di Indonesia harus didukung dengan pengaturan yang komprehensif sehingga dapat menjembatani kepentingan antara pembuat kebijakan, perancang peraturan perundang­undangan, dan pemangku kepentingan serta termasuk pula di dalamnya adalah masyarakat yang akan merasakan dampak langsung dan tidak langsung dari adanya Undang­Undang tentang Kepresidenan, maka dalam hal ini perlukan dikemukakan identifikasi masalah untuk mempermudah pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum yang mengakomodir seluruh regulasi yang berkaitan dengan Kepresidenan dalam suatu wadah sistem hukum nasional yang mencerminkan cita hukum (rechtsidee) yang tergambar dalam suatu undang-undang, yaitu sebagai berikut:
  1. Masyarakat kurang mengenal dan mengetahui Kepresidenan yang mereka pilih secara langsung melalui pemilihan presiden karena pengaturan terhadap Kepresidenan menyebar di berbagai macam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengaturan yang khusus terhadap Kepresisenan;
  2. Dalam sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Republik Indonesia mempunyai kedudukan sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Perbedaan kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kedudukan presiden sebagai kepala pemerintahan tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, terdapat berbagai macam pandangan bila presiden bertindak sebagai kepala negara dan bila presiden bertindak sebagai kepala pemerintahan oleh para akademisi maupun masyarakat. Oleh karena masih memungkinkan menimbulkan berbagai penafsiran, maka kedudukan presiden sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan perlu ditegaskan dalam undang-undang ini;
  3. Luasnya cakupan kekuasaan Kepresidenan dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pelaksanaannya, telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya. Hal ini disebabkan besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan mekanisme  pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hal-hal tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukan suatu pengaturan akan hal tersebut di dalam undang-undang ini sebagai suatu kontrol;
  4. Status Presiden yang sangat vital sebagai penyelenggara pemerintahan Negara Republik Indonesia mengakibatkan timbulnya suatu hubungan antara presiden dengan lembaga negara lainnya. Dalam hal ini perlu dipertegas bagaimana mekanisme hubungan presiden dengan lembaga negara lainnya, baik bertujuan untuk mencari solusi maupun strategi yang perlu dilakukan dalam menghadapi persoalanpersoalan disharmonis dalam hubungan antar lembaga negara tersebut;
  5. Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia secara bersama-sama disebut sebagai Kepresidenan Indonesia. Namun sejak Indonesia merdeka, fungsi, tugas, dan wewenang wakil presiden tidak pernah benar-benar tegas dan jelas. Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 hanya disebutkan bahwa seorang wakil presiden membantu presiden dalam melaksanakan kewajibannya. Dan pada kenyataannya, fungsi, tugas, dan wewenang wakil presiden sangat tergantung pada keinginan presiden dan kinerja wakil presiden tergantung pada kemampuan dan kemauan pribadi yang bersangkutan. Bukan karena aturan yang baku dan jelas; 
  6. Kejelasan hak, kewajiban maupun larangan terhadap Kepresidenan sangat penting demi terjaminnya presiden dalam menjalankan penyelenggaraan pemerintahan tanpa adanya desakan ataupun tekanan politik yang mengganggunya. Serta presiden juga mengetahui dengan jelas apa yang menjadi kewajiban maupun larangan yang dilimpahkan kepadanya. Untuk itulah, Undang-Undang tentang Kepresidenan ini sangat dibutuhkan. 
 ...........
---------------------------------------------------------------------------------------------
 Itulah sedikit ringkasan dari Naskah Akademik yang kami susun. (Naskah Asli 199 Halaman) 



[1]Jimy Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tatanegara  Indonesia, Buana Ilmu Populer, Jakarta,  2008, hlm 311.
[2]Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara , 2011, Jakarta, Rajawali Pers,  hlm. 6.
[3] Presiden Seumur Hidup, (http//id.wikipedia.org/wiki/presiden_seumur_hidup.) diakses pada 5 pebruari 2012.

No comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar dengan baik!