Welcome

***Selamat datang di blog resmi Sofian Siregar*** Semoga blog ini bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Terimakasih telah berkunjung!

Tuesday, February 17, 2015

Pidana Mati Bali Nine Inkonstitusional

Sebuah Wacana: Pidana Mati Vs. Hak Asasi Manusia


Hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.

Tidak sedikit negara yang masih memberlakukan hukuman mati untuk beberapa tindak pidana termasuk di Indonesia.

Apakah Indonesia terlahir dengan memberlakukan hukuman mati? Apakah hal tersebut sesuai dengan budaya luhur yang hidup dalam negara ini? Mari pikirkan kembali!

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002 tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana pembunuhan. (wikipedia: hukuman mati)

Hukuman mati yang dikenal dengan istilah pidana mati masih marak di Indonesia seperti dalam kasus terorisme, narkotika, pembunuhan atau pembunuhan berencana, kejahatan politik, dan lainnya.

Nah. Kembali pada pertanyaan di atas.

Pidana mati adalah suatu kebijakan atau tindakan yang tidak tepat apabila ditinjau dari perspektif Hak Asasi Manusia. Dan Hak Asasi Manusia dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Hak Asasi manusia secara khusus dibahas dalam Bab XA UUD 1945. Dan terkait dengan pidana mati, pada Pasal 28A dikatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”

Pasal itu kemudian diperkuat pada Pasal 28I ayat (1)  yang mengatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Memang dalam Pasal 28J ayat (2), “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Adanya pasal itu, tidak berarti pidana mati dibenarkan untuk diterapkan. Memberi hukuman dengan melanggar Hak Asasi Manusia adalah suatu omong kosong. Terlebih dengan melanggar ketentuan konstitusi yang merupakan hukum dasar dan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan.

Bagaimana Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia menganggapi hal ini?

Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM, dikatakan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”

Pada Pasal 2 ditegaskan bahwa “Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.”

Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 kembali disebutkan Pasal 4 dalam Undang-Undang HAM. Dan Pasal 28J ayat (2) pada Pasal 70 UU HAM. Dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pada Pasal 70 UU HAM.

Terkait Dengan Isu Pidana Mati Warga Negara Australia.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih dijumpai pidana mati. Seperti pada Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 116 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), dan Pasal 121 ayat (2).

Pada Pasal 146 Undang-Undang ini, disebutkan bahwa:
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.

Indonesia adalah negara hukum. Setiap pelaksanaan ketatanegaraan harus berdasarkan hukum. Terlebih dalam hal penegakan hukum.

Pada Pasal 8 Undang-Undang HAM, disebutkan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.”  Dan selanjutnya pada Pasal 71 disebutkan bahwa “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang- undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.”

Apakah “Pemerintah” dengan menjatuhkan pidana mati pada terpidana narkoba dapat dikatakan menghormati Hak Asasi Manusia? Melindungi, menegakkan ataupun memajukan Hak Asasi Manusia? Sangat disayangkan.

Dalam tatanan hukum, Indonesia masih menganut asas hierarki. Peraturan yang lebih tinggi tidak dapat dikesampingkan. Lalu bagaimana dengan Undang-Undang Narkotika dan atauran lainnya yang mengancam keutuhan Hak Asasi Manusia yang diakui di hampir seluruh negara. Hak Untuk Hidup.

Konstitusi juga menjamin semua orang sama dihadapan hukum. Pemerintah sebagai badan yang memiliki dua entitas. Sebagai badan yang menjalankan tugas jabatannya dan sebagai individu yang mewakili dirinya sendiri. Pemerintah patut dihadapkan dengan hukum dalam konteks kegalalan dalam menghormati HAM yang dijamin oleh konstitusi keutuhannya.

Pertimbangan yang seharusnya dikaji oleh Pemerintah adalah bagaimana menjaga hubungan diplomasi terhadap negara yang tidak memberlakukan lagi pidana mati demi keutuhan Hak Asasi Manusia. Memandang penjatuhan pidana mati yang dilakukan bahkan tidak sesuai dengan kontitusi ataupun inkonstitusional.

Karena kewajiban dan tanggung jawab pemerintah terkait dengan HAM meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain. Termasuk menjaga hubungan diplomatik yang baik dengan negara-negara sahabat. Bukankah pada pada pembukaan UUD 1945 Indonesia menjunjung tinggi perdamaian dunia?

Pemerintah tidak dapat seenaknya mengatas-namakan hukum dalam penegakan hukum. Padahal langkah yang diambil adalah suatu yang salah. Pemerintah seharusnya memahami hukum sebelum mengelurkan suatu aturan atau kebijakan. Terlebih Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan perjanjian masyarakat. Pemerintah dengan masyarakat. Kalau terhadap hal itu saja pemerintah tidak mampu, bagaimana masyarakat dapat mempercayai kinerja pemerintah.

Dalam konteks lain, apabila masyarakat Indonesia setuju dengan pemberlakuan pidana mati, maka cara terakhir adalah mengubah atau mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Maka perdebatan internal terkait dengan atauran-aturan yang tidak berdasar tidak akan terjadi.

Mari kita kaji kembali tatanan hukum dalam negara kita tercinta ini!
Salam Damai! Merdeka!

No comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar dengan baik!