Dino sedang membaca tumpukan kertas yang
ada di kamar abangnya yang sudah duduk di bangku kuliah. Dia sangat senang
membaca walau umurnya masih delapan tahun. Ayahnya selalu membelikannya komik
menjadi bahan bacaannya.
Melihat Dino sedang berada di kamarnya, Riko memarahinya dan menyuruhnya keluar. Riko sangat benci kalau barang miliknya dipegang oleh adiknya. Ia takut tangan jahilnya akan selalu merusak.
Melihat Dino sedang berada di kamarnya, Riko memarahinya dan menyuruhnya keluar. Riko sangat benci kalau barang miliknya dipegang oleh adiknya. Ia takut tangan jahilnya akan selalu merusak.
Lalu Dino menghampiri ayahnya sedang membaca koran. Ia duduk tepat di samping ayahnya. Tidak berniat untuk mengganggu ayahnya. Namun tatapannya yang tajam membuat ayahnya menatap ke arahnya penuh tanya.
“Mengapa kita harus sarapan ayah?”
“Kalau kamu tidak sarapan, kamu tidak akan punya tenaga untuk bekerja dan bermain.” Sahut ayahnya tanpa memandang wajahnya.
“Apa yang sedang ayah baca?”
“Berita tentang KPK dan Polri.”
“Kalau kamu tidak sarapan, kamu tidak akan punya tenaga untuk bekerja dan bermain.” Sahut ayahnya tanpa memandang wajahnya.
“Apa yang sedang ayah baca?”
“Berita tentang KPK dan Polri.”
“Aku juga sering menonton berita itu
di tv ayah.” Dino begitu bersemangat.
“Film kartun lebih baik dari berita yang ada di tv.” Sahut ayahnya. Menonton berita terlalu dini buatnya pikirnya. Apalagi penyampaian kebanyakan berita terlalu memprovokasi. Dan bahkan tidak mendidik.
“Apakah semua orang belajar tentang Empat Pilar ayah?” tanya Dino.
“Apa itu?” tanya ayahnya balik.
“Dia pasti baru baca tentang Empat Pilar yang baru aku print.” Sahut Riko menghampiri mereka.
“Apa itu Riko?” tanya ayahnya pada Riko. Namun Riko menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia bahkan belum menyentuh tumpukan kertas itu.
“Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.” Kata Dino. Hal itu menbuat ayahnya terkejut dan semakin penasaran dengannya rasa ingin tahu anaknya. Biasanya anak-anak seumuran dia hanya tahu bermain dan menonton film kartun.
“Apa yang kamu tahu tentang Empat Pilar nak?” sekarang ayah berusaha menguji sampai dimana anaknya dapat menangkap apa yang dibacanya.
Dino dengan semangat yang berapi-api berdiri. Ia ingin sekali menirukan bagaimana seorang presiden menyampaikan pidatonya. Dengan sesekali mengerak-gerakkan tangannya.
“Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia pengertian pilar adalah tiang penguat, dasar, yang
pokok, atau induk. Penyebutan Empat Pilar kehidupan berbangsa dan bernegara
tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang
sederajat. Setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda. Pada
prinsipnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara kedudukannya berada di
atas tiga pilar yang lain.”
“Mengapa pancasila berada di atas tiga pilar yang lain?” tanya Riko.
“Karena Pancasila adalah sebagai dasar negara, pandangan hidup, ideologi negara, ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan, dan sumber dari segala sumber hukum.” Raut wajah Riko tampak bingung. “Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara harus menjadi jiwa yang menginspirasi seluruh pengaturan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.” Tegas Dino.
“Apa abang lupa kalau karakteristik Indonesia sebagai negara-bangsa yang padat penduduk, majemuk dan luas? Pancasila merupakan konsensus nasional dan dapat diterima oleh semua kelompok masyarakat Indonesia. Pancasila memberi kekuatan kepada bangsa Indonesia, sehingga perlu dimaknai, direnungkan, dan diingat oleh seluruh komponen bangsa.”
Ayah Dino semakin tidak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar. Ia tahu Dino sangat suka membaca. Tapi ia tidak tahu kalau ia dapat memahami dengan baik apa yang ia baca. “Lalu UUD 1945?” tanya ayahnya.
“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai hukum dasar, merupakan kesepakatan umum warga negara mengenai norma dasar dan aturan dasar dalam kehidupan bernegara. Kesepakatan ini utamanya menyangkut tujuan dan cita-cita bersama, serta bentuk institusi dan prosedur ketatanegaraan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Oleh karena itu, dalam negara yang menganut paham konstitusional tidak ada satu pun perilaku penyelenggara negara dan masyarakat yang tidak berlandaskan konstitusi.”
Riko mengambil tumpukan kertas yang baru dibaca oleh Dino. Memastikan apakah Dino berkata benar atau tidak. Ia kemudian membuka tumpukan kertas itu. “Lalu bagaimana dengan NKRI?” tanya Riko penasaran sembari melihat yang ia pegang.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan bentuk negara yang dipilih sebagai komitmen bersama. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk mewadahi kemajemukan bangsa. Oleh karena itu komitmen kebangsaan akan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi suatu “keniscayaan” yang harus dipahami oleh seluruh komponen bangsa. Dalam konstitusi secara tegas menyatakan bahwa khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan karena merupakan landasan hukum yang kuat bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat diganggu gugat.” Kata Dino semakin bersemangat.
Riko tidak menemukan dengan pasti perkataan Dino. Sepertinya Dino merangkum yang ia baca pikirnya. Lalu tatapannya semakin tajam mengarah pada Dino. “Bagaimana kau bisa memahami dengan cepat?”
“Aku belum selesai dengan Bhineka Tunggal Ika.” Sahut Dino tersenyum. “Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan negara sebagai modal untuk bersatu. Kemajemukan bangsa merupakan kekayaan kita, kekuatan kita, yang sekaligus juga menjadi tantangan bagi kita bangsa Indonesia, baik kini maupun yang akan datang. Oleh karena itu kemajemukan itu harus kita hargai, kita junjung tinggi, kita terima dan kita hormati serta kita wujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.”
“Lalu mengapa kita harus belajar empat pilar? Tanya ayahnya. “Bukankah itu sekedar pelajaran kewarganegaraan?”
“Setiap penyelenggara negara dan segenap warga negara Indonesia harus memiliki keyakinan, bahwa itulah prinsip-prinsip moral keindonesian yang memandu tercapainya perikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
“Aku tidak mengerti.” Kata Riko.
“Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa pengabaian, pengkhianatan, dan inkonsistensi yang berkaitan dengan keempat pilar tersebut bisa membawa berbagai masalah, keterpurukan, penderitaan dan perpecahan dalam perikehidupan kebangsaan.”
“Seperti berita tentang Polri dan KPK?” tanya Bambang.
“Itu tidak seberapa. Yang lebih parah ketika semua masyarakat memandang mereka sebuah konflik. Lalu siapa lagi penegak hukum yang dapat dipercaya untuk dimintakan perlindungan? Media seharusnya berhati-hati menyampaikan berita. Dan masyarakat harus bijaksana. Toh mereka melakukan tugasnya masing-masing sesuai dengan perundang-undangan.” Dino tersenyum sinis.
“Aku ikut aksi Save KPK.”
“Itu hak abang ikut aksi. Tapi bukan berarti dengan demikian pihak-pihak tertentu sudah pasti benar atau sudah pasti salah. Harus kembali lagi empat pilar. Mereka melakukan tugasnya. Mengapa jadi masyarakat yang terpecah-pecah? Toh setiap pihak ingin membuktikan kebenaran. Seperti kata ayah tadi kita sarapan untuk dapat bermain dan bekerja. Sama halnya dengan semua ini. Kita butuh belajar memahami sebelum berkoar-koar.”
Riko seakan tidak percaya melihat adiknya begitu lantang berbicara. Mungkin Dino seorang yang jenius atau…” Tiba-tiba Riko terbangun dan mendapati adiknya sedang membaca ‘Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ miliknya. Mimpi oh mimpi.
***
Konsepsi
pokok yang melandasi Empat Pilar adalah semangat gotong royong. Bung Karno
mengatakan, “Gotong royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari
kekeluargaan. Saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu paham yang statis,
tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan.
Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, perjuangan bantu binantu
bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Holopis kuntul baris, buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong.”
(dikutip dari Pidato Bung Karno, 1 Juni 1945).
Dan
Pancasila hendaknya dikembangkan dengan semangat gotong-royong: prinsip
ketuhanan harus berjiwa gotong- royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang
lapang, dan toleran), bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan.
Prinsip Kemanusiaan universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan
dan berkeadaban), bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah, menindas, dan
eksploitatif. Prinsip persatuannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan
persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, “bhinneka tunggal ika”), bukan
kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan. Prinsip
demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan
demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elit
penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong
(mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat
kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-
kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Konsepsi
tentang semboyan negara dirumuskan dalam “Bhinneka Tunggal Ika”, meskipun
berbeda- beda, tetap satu jua (unity in diversity, diversity in unity). Di
satu sisi, ada wawasan ”ke-eka-an” yang berusaha mencari titik-temu dari segala
kebhinnekaan yang terkristalisasikan dalam dasar negara (Pancasila),
Undang-Undang Dasar dan segala turunan perundang-undangannya, negara persatuan,
bahasa persatuan, dan simbol-simbol kenegaraan lainnya. Di sisi lain, ada
wawasan kebhinnekaan yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka
perbedaan, seperti aneka agama/keyakinan, budaya dan bahasa daerah, serta
unit-unit politik tertentu sebagai warisan tradisi budaya.
Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara dipandang sebagai sesuatu yang harus
dipahami oleh para penyelenggara negara bersama seluruh masyarakat dan menjadi
panduan dalam kehidupan berpolitik, menjalankan pemerintahan, menegakkan hukum,
mengatur perekonomian negara, interaksi sosial kemasyarakatan, dan berbagai
dimensi kehidupan bernegara dan berbangsa lainnya. Dengan pengamalan prinsip
Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, diyakini bangsa Indonesia akan
mampu mewujudkan diri sebagai bangsa yang adil, makmur, sejahtera, dan
bermartabat.
Anak kecil aja tertarik belajar. Bagaimana dengan kita yang pola berpikirnya sudah matang. Sanggupkah kita menanamkan bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara pada anak kita dengan kata-kata sederhana. Mungkin mereka tidak seperti Dino yang sangat cerdas. (walau hanya dalam mimpi abangnya. hehe) Tapi dengan belajar dan menanamkannya dalam kehidupan kita sehari-hari. Mudah-mudahan mereka akan meniru dan tumbuh dengan pemikiran pemersatu.
Mari belajar!!
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar dengan baik!