PENDAHULUAN
Tanah
merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada negara kita.
Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik
yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, tempat tinggal, gerak dan aktivitas.
Oleh karena hakekat yang sangat penting itulah, maka tentang tanah akan selalu
ada masalah, terutama untuk pembangunan fisik negara. Untuk itulah supaya tidak
menimbulkan masalah, pemerintah berusaha mengaturnya dengan baik. Keadaan
negara kita sebagai negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan
dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak
bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya.
Lebih
lanjut permasalahan mengenai tanah berkembang seperti realita yang terjadi
belakangan ini yaitu munculnya kasus dan sengketa tanah banyak berawal dari
tanah telantar di mana kondisi tanah yang menjadi spekulasi dunia usaha di
semua sektor pembangunan disalahgunakan sehingga untuk menjalankannya diadakanlah
proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat.
Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama karena salah satu pihak merasakan
adanya ketidakadilan. Proses yang cukup lama ini otomatis membuat jalannya
pembangunan menjadi tersendat.
Untuk
itu perlu diperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang
berlaku untuk seluruh hak-hak atas tanah sehingga dapat membantu mengubah cara
berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas
tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi
ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dengan
perubahannya PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Namun realitanya, pemerintah
sulit mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Oleh
karena itu, pihak pemerintah seharusnya memperhatikan jumlah kerugian yang
wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah sehingga tujuan UUPA untuk mencari
keseimbangan antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan
individu dapat segera terwujud dengan baik.
HAKEKAT FUNGSI SOSIAL
Pengertian Fungsi Sosial
Prinsip tanah
memiliki fungsi sosial sebenarnya merupakan antitesa hukum tanah Barat,
bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasar Code Civil
Perancis. Dasar filosofi Code Civil Perancis menganut konsep individualistik-
liberal, sebuah landasan masyarakat borjuis Eropa abad XIX. Prinsip ini
kemudian diadopsi berdasarkan asas konkordansi ke dalam hukum Indonesia yang
diatur dalam UUPA No.5 Tahun 1960.
Sebelum lahirnya
UUPA, ketentuan mengenai fungsi sosial ini diatur dalam pasal 26 ayat (3) UUDS
1950 yang menyatakan, “Hak milik itu
adalah fungsi sosial”. Setelah lahirnya UUPA, ketentuan mengenai fungsi
sosial diatur di dalam pasal 6 yang berbunyi, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Hal ini berbeda
dengan ketentuan dalam UUDS 1950 dimana hanya hak milik yang mempunyai fungsi
sosial.
Semua hak atas
tanah yang disebutkan dalam pasal 6 UUPA, antara lain :
1.
Hak-hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak-hak
atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau
badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang
lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2.
Hak-hak atas
tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara
seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas
tanah pertanian.
Dengan kata “mempunyai
fungsi sosial” ini, maka hak-hak atas tanah yang ada pada seseorang
itu akan tetap dihormati.
Pengertian
fungsi sosial menurut Leon Duguit
adalah, “Tidak ada hak subyektif (subyektief recht) yang ada hanya
fungsi sosial. Dalam pemakaian suatu hak atas tanah, hanya memperhatikan
kepentingan suatu masyarakat.” Duguit bertitik tolak pada penyangkalan
terhadap adanya hak subyektif, yang ada hanyalah fungsi sosial. Pikiran Duguit
ini sejalan dengan pikiran utilitarian yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering tentang kebahagian
kolektif sebagai tujuan adanya hukum, bukan kebahagiaan individu. Kebahagiaan
individu tercapai bilamana terlebih dahulu tercapai kebahagiaan sosial.
Sementara
itu, Notonegoro berpendapat, “Hak milik adalah fungsi sosial, akan tetapi
dalam arti bahwa itu bukannya menghilangkan sifat diri, melainkan di dalam hak
milik tercantum sifat diri, dan di samping itu mempunyai sifat kolektif. Jadi
sebenarnya perumusannya yang cocok dengan maksud itu, hubungan dengan kekuasaan
manusia terhadap tanah mempunyai sifat perseorangan dan mempunyai sifat sosial.”
Di dalam pendapatnya, Notonegoro hanya memasukkan hak milik sebagai hak yang
memiliki fungsi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUDS 1950 sebelum
lahirnya UUPA.
Fungsi
sosial hak atas tanah ini sejalan dengan groundnorm Indonesia yang
mencita-citakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial yang kemudian dituangkan
ke dalam Pasal 33 UUD 1945 perihal “dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan dapat ditafsirkan bahwa fungsi sosial
dari hak milik primair, diartikan hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan
kepentingan masyarakat. Jelaslah bahwa antara konsep individualitas dan
kolektivitas terhadap tanah harus equilibrium atau bercorak dwi tunggal. Jadi rnaksud dwi tunggal adalah bahwa setiap
individual mempunyai fungsi sosial sesuai dengan Pancasila dimana di dalam
individu tersebut selain melekat kepentingan individu juga rnelekat kepentingan
sosial, misalnya hak milik dapat dicabut derni kepentingan sosial.
Tujuan Fungsi Sosial
Ronald Z. Titahelu mengemukakan bahwa fungsi sosial tidak saja dipergunakan
untuk menerangkan kata “tanah” atau “hak atas tanah”, tetapi juga dipergunakan
untuk menerangkan kata “hukum”. Jika dinyatakan fungsi sosial dari hukum, maka yang dimaksudkan adalah adanya daya kerja
kemasyarakatan dari hukum atau daya kerja dari hukum terhadap masyarakat.
Dengan kata lain, dapat dikatakan mendekati arti efektivitas hukum.
Fungsi sosial dapat
diartikan sebagai suatu daya kerja kemasyarakatan tertentu yang timbul atau
muncul pada waktu sesuatu digerakkan, diaktifkan, atau dikerjakan. Ada
karakteristik tertentu yang menunjukkan adanya daya kerja kemasyarakatan.
Dengan demikian dibutuhkan karakteristik tertentu untuk menandai arti dari
tanah memiliki fungsi sosial, maupun fungsi sosial dari hukum.
Lebih khusus, dapat dikatakan tujuan fungsi
sosial terdiri dari dua yaitu:
1.
Untuk
mencapai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan bersama. Harus
terpelihara kelestariannya, setiap perbuatan merusak barang atau benda yang
berfungsi sosial adalah perbuatan tercela (amoral) yang harus diberi sanksi
(Pasal 15 jo. Pasal 52 UUPA).
2.
Sementara
dalam kaitannya dengan kepentingan umum, maka fungsi sosial bertujuan untuk
melindungi mereka yang ekonominya lemah mendapat perlindungan secara wajar. Hal
ini dilakukan agar tidak terjadi perbenturan diantara berbagai kepentingan
antara satu dengan yang lainnya berkenaan dengan fungsi sosial hak milik atas
tanah.
Karakteristik
dan Sifat Fungsi Sosial
Fungsi sosial hak atas tanah memiliki karakteristik atau sifat sebagai
berikut :
1.
Tanah dengan hak apapun
tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan, semata-mata untuk
kepentingan pribadi.
2.
Penggunaan tanah tidak
boleh merugikan masyarakat.
Dengan demikian maka
tanah dengan hak apapun juga, jika digunakan atau tidak digunakan untuk
kepentingan pribadi, harus pula melibatkan kepentingan atau kemanfaatan bagi
masyarakat. Dalam pengertian itu, kepentingan dan kemanfaatan bagi masyarakat
harus diutamakan. Hal demikian memberi petunjuk bahwa ketika tanah dipergunakan
atau tidak dipergunakan, pada saat itu juga daya kerja dari dipergunakan atau
tidak dipergunakannya tanah itu menjangkau kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat secara bersama-sama. Inilah arti dari pernyataan bahwa setiap
penggunaan atau tidak dipergunakannya tanah, daya kerja kemasyarakatan dari
tanah itu selalu diwujudkan.
HAKEKAT KEPENTINGAN UMUM
Pengertian Kepentingan Umum
Pengertian
kepentingan umum secara harfiah adalah suatu keperluan, kebutuhan atau kepentingan
orang banyak dimana keperluan atau kebutuhan tersebut dapat dirasakan atau
dinikmati orang banyak.
Menurut Keppres
No. 55 Tahun 1993, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh
lapisan masyarakat.
Menurut pendapat
John Salindeho, kepentingan umum adalah, “Kepentingan
umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama
dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan
Hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan
Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.”
Dari rumusan di
atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud kepentingan umum
adalah meliputi : kepentingan bangsa, kepentingan negara, kepentingan bersama
rakyat, dan kepentingan pembangunan.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 di dalamnya tidak merumuskan secara jelas mengenai apa yang
dimaksud kepentingan umum, tetapi hanya menyebutkan contoh-contohnya saja dari
kegiatan untuk kepentingan umum misalnya : untuk membuat jalan raya, pelabuhan,
bangunan industri, perumahan dan lainnya dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional
Semesta Berencana.
Dalam Instruksi
Presiden Nomor 9 Tahun 1973 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
1973 dimana pada Pasal 1 ditetapkan bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai
kepentingan umum, yang meliputi bentuk-bentuk kegiatan pembangunan menyangkut
bidang-bidang : Pertahanan, Pekerjaan umum, Perlengkapan umum, Jasa umum,
Keagamaan, Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya, Kesehatan, Olah raga, Keselamatan
umum terhadap bencana alam, Kesejahteraan sosial, Makam/kuburan, Pariwisata dan
rekreasi, Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
Konsepsi Kepentingan Umum
Latar belakang
pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi Hak
Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara
keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan
manusia Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial
(kepentingan umum) lebih diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan
bahwa kepentingan umum tersebut telah dengan sendirinya mengandung kepentingan
individu.
Konsepsi
kepentingan umum yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai keseluruhan tampak
pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Demikian juga pada Keputusan Presiden
Nomor 55 Tahun 1993. Tetapi konsepsi tersebut kemudian dipengaruhi paham
utilitarian yang hanya mensyaratkan kepentingan umum sebagai kepentingan
sebagian besar lapisan masyarakat, sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor
36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Dengan konsep yang
demikian, telah dipahami bahwa terdapat kemungkinan sebagian lapisan masyarakat
tertentu akan dikorbankan untuk kepentingan umum tersebut. Karena itulah,
seharusnya paling tidak ini diimbangi dengan perlindungan hukum bagi rakyat
terhadap kemungkinan terjadinya tindakan sewenang-wenang atas nama kepentingan
umum.
Wewenang Perumusan Kepentingan Umum
Dalam UUPA,
secara eksplisit istilah penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang
dilakukan oleh pemiliknya—sebagai pelaku aktif—pada dasarnya dikenal dalam hal
hapusnya pemilikan tersebut sehingga beralih menjadi tanah Negara. Ketentuan
ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 sebagai
Undang-Undang Organik.
Kepentingan umum
ditafsirkan secara luas oleh pembuat Undang-Undang dengan memberikan pedoman
umum, yang nantinya diaplikasikan dengan suatu Keputusan Presiden. Dengan
demikian Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada lembaga
eksekutif untuk menafsirkan kepentingan umum melalui regulasi seperti: Presiden
mengeluarkan Instruksi yang memberi pedoman tentang penafsiran kepentingan
umum.
Padahal jika
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, maka Presiden hanya
berwenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang merupakan jawaban atas
permohonan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Artinya, Keputusan
Presiden ini bersifat kasuistis yaitu bersifat penetapan dan berlaku sekali
selesai (einmahlig). Pelibatan DPRD dalam Rencana Pembangunan terkesan
hanya prosedural-formal, karena persetujuan para wakil rakyat tersebut hanya
terhadap suatu kegiatan pembangunan tertentu tanpa dijelaskan konsekuensi
apabila terjadi ketidaksetujuan. Hal ini pada masa pemerintahan Orde Baru,
makin didukung oleh sistem birokrasi yang sentralistik.
Inilah
perbedaannya dengan peraturan-peraturan pencabutan hak atas tanah sebelumnya (Onteigeningsordonantie
1920, Undang-Undang Dasar Sementara dan Konstitusi RIS dan juga UUPA),
yakni yang semula harus berdasar Undang-Undang kemudian menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1961 yang dimandatkan oleh UUPA, “diaktualisasikan” menjadi berdasar
Keputusan Presiden, dan selainnya adalah berdasar Rencana Pembangunan.
Oleh karena
orientasi kepentingan umum kemudian lebih pada kepentingan pembangunan”. Pada
masa Orde Lama, pengambilalihan hak atas tanah adalah dalam rangka kepentingan
umum, bukan kepentingan pembangunan (yang diasumsikan sebagai kepentingan
umum). Kepentingan pembangunan berarti kepentingan yang harus tunduk pada arah
kebijakan pembangunan. Sehingga perkembangan konsep kepentingan umum pun
menjadi lebih dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi atau kebijakan pembangunan
yang diagendakan oleh pemerintahan tersebut. Semakin kapitalistik suatu rezim
ekonomi, maka bisa dikatakan kepentingan umum pun semakin mengarah pada
kepentingan kapitalis yang diindikasikan dalam pemilihan prioritas kepentingan
sebagai kepentingan umum, dan pembukaan kesempatan masuknya investasi swasta
dalam penyelenggaraan kepentingan umum tersebut. Dan karena pihak swasta telah
dengan sengaja disertakan, maka sebagai konsekuensinya adalah dimungkinkannya
orientasi keuntungan dalam penyelenggaraan tersebut.
Hubungan Fungsi Sosial Dengan Kepentingan Umum
Fungsi sosial memiliki kaitan yang erat dengan kepentingan umum
seperti yang dirumuskan dalam pasal 18 UUPA. Di dalam pasal 18 ini dinyatakan bahwa, “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat, hak-hak atas tanah
dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur
dalam Undang-Undang”.
Pasal 18 ini memungkinkan negara
untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan sosial. Ketentuan pencabutan
hak ini adalah merupakan ketentuan, yang memungkinkan negara untuk melaksanakan
politik dan strategi pertahanan keamanan. Selain itu, pasal ini juga merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas
tanah. Pencabutan hak ini hanya dimaksudkan bilamana ada
suatu kepentingan umum yang benar-benar menghendakinya. Kepentingan ini misalnya
untuk pembuatan jalan raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan,
perumahan dan kesehatan masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan
pembangunan masional.
Pencabutan hak
dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai dengan
ganti kerugian yang layak. Atas dasar Pasal 18 tersebut maka dikeluarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan
Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Kalau disimak dari ketentuan tersebut maka terlihat bahwa yang diatur
dalam Pasal 18 UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 itu hanya dalam
kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Maka dengan demikian
dapat diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan
umum, seseorang atau badan hukum pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan
tanahnya. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 UUPA
sebelumnya yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Dalam Penjelasan Umum II
angka (4) UUPA disebutkan bahwa
semua hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat
dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan
kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan
sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama
sekali oleh kepentingan umum. Untuk itu
bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek pembangunan untuk
kepentingan umum, maka mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak.
Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan
terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai tujuan
pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.
PENGADAAN
TANAH DALAM KAITANNYA DENGAN FUNGSI SOSIAL
Pengertian
Pengadaan Tanah
Pengertian
Pengadaan tanah secara tekstual yang tercantum dalam :
1.
Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa
Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Pasal 1 ayat (2) Pelepasan atau
penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang
hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian
atas dasar musyawarah.
2.
Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005
Pasal 1 butir (3) menyebutkan
bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan
ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,
tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak
atas tanah.
Pasal 1 butir (6) Pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara
pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan uang
ganti rugi atas dasar musayawarah.
3.
Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006:
Pasal 1 menyebutkan Pengadaan
adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti
rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan
benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
Menurut Arie Sukanti Hutagalung, pengertian
pengadaan tanah adalah, “Dengan melihat
lingkup pengadaan tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tersebut, tidak
cukup hanya sampai berhenti pada proses pemberian ganti rugi kepada yang berhak
atas tanah tersebut. Tetapi juga harus memperhatikan kepentingan warga
masyarakat yang terkena dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah tersebut. Untuk
itu lingkup kegiatan pengadaan tanah harus meliputi pula proses dimana mereka
yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tetap
terpelihara kesejahteraan hidupnya seperti semula bahkan terjadi lebih baik
dari pada sebelum dilakukan proyek tersebut.”
Pengadaan Tanah
Aktivitas pengadaan tanah untuk
kepentingan pembangunan secara teoritis didasarkan
pada azas/ prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:
1. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum.
2.
Pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum (komersial).
Prinsip pengadaan tanah menurut Maria Soemardjono dan Oloan Sitorus mencakup :
1. Penguasaan
dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada
landasan haknya.
2. Semua hak
atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (ini
kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD juncto Pasal
1 dan 2 UU Pokok Agraria).
3.
Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/ badan hukum
harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan UU
No.39 Tahun 1999 Tentang HAM).
Dalam keadaan yang memaksa artinya
jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk
melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No.20 tahun
1961.
Tujuan Pengadaan Tanah
Tujuan
pengadaan tanah antara lain :
1. Untuk
kepentingan perindustrian
Kawasan industri adalah tempat pemusatan
kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi prasarana, sarana, dan fasilitas
penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri
dan harus suatu perusahaan badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia
dan berkedudukan di indonesia, serta tunduk kepada hukum indonesia yang khusus
untuk mengelola kawasan industri.
Dalam pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993
disebutkan bahwa tanah yang diadakan untuk kepentingan perindustrian adalah
tanah-tanah masyarakat setempat dengan mengadakan musyawarah terlebih dahulu
dengan masyarakat setempat tersebut.
Pengadaan tanah tersebut harus sudah
diselesaikan dalam jangka waktu 2 tahun dengan perpanjangan 1 tahun lagi dengan
musyawarah dengan penduduk setempat.
2. Untuk
kepentingan pemukiman
Dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1984 diterbitkan ketentuan untuk
penyediaan dan pemberian hak tanah untuk keperluan perusahaan pembangunan
perumahan sederhana/perumahan murah yang diselenggarakan dengan fasilitas
kredit perumahan rumah dari Bank Tabungan Negara.
Model,
Cara, Musyawarah, dan Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah
Jenis-jenis model pengadaan tanah :
1. Pelepasan hak atas tanah untuk hak milik
atas tanah (Pasal 2 Ay(1) Per Men 65/06).
2. Penyerahan hak atas tanah untuk HGU, HGB,
Hak Pakai (atas TN), HPL.
Cara-cara pengadaan tanah :
1. Jual-beli.
2. Tukar-menukar.
3. Atau cara lain yang disepakati.
Bahwa atas pertimbangan tersebut
pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan
untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para
pemegang hak atas tanah (Pasal 9 Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1993). Adapun
pengertian musyawarah dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 adalah
proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan
keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas
tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti kerugian.
Syarat-syarat musyawarah, antara lain :
1. Didasarkan pada satu bentuk kebijakan yang dituangkan
dalam satu produk hukum .
2. Kesamaan persepsi tentang kepentingan umum,
cara PTUP, musyawarah, substansi penggantian yang layak.
3. Dilakukan secara langsung, bersama
(egaliter/setara), efektif.
4. Saling menerima dan memberi (take &
give) pendapat/ pandangan, saran, kritik, usul.
5. Hanya dapat dilaksanakan dengan hasil yang
optimal, jika diketahui materi/ substansi yang dimusyawarahkan, tujuan,
hambatan, target yang kongkrit, peran yang jelas, solusi yang adil.
6. Musyawarah tidak boleh ada pemaksaan
kehendak pihak yang satu terhadap yang lain.
7. Pelibatan secara setara pemangku
kepentingan dalam forum musyawarah tanpa ada egosektoral/ mengedepankan
kepentingan individu/ kelompok/ golongan.
Dalam hal apabila jalan musyawarah tidak berhasil dilakukan,
maka dilakukanlah pencabutan hak atas tanah sebagai jalan terakhir untuk
mendapatkan tanah tersebut demi kepentingan umum. Adapun dasar hukumnya antara
lain terdapat dalam Penjelasan Umum (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, “Jika memang benar-benar untuk kepentingan
umum, dalam keadaan memaksa, jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang
diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan
menguasai tanah yang bersangkutan.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Isi dan
Pelaksanaannya, Jilid I, Budi
Harsono menyatakan, “Berbeda dengan
pelepasan hak atau pembebasan tanah ataupun jual beli, yang merupakan cara-cara
untuk memperoleh tanah atas dasar kesepakatan bersama, pencabutan hak adalah
lembaga sarana untuk memperoleh tanah secara paksa. Maka ketentuannya berbentuk
undang-undang. Dalam pencabutan hak, pihak yang mempunyai tanah berhadapan
bukan dengan sesama pihak yang berkedudukan hukumnya sederajat, melainkan
berhadapan dengan penguasa yaitu Presiden Republik Indonesia.”
Pencabutan
hak atas tanah untuk kepentingan umurn adalah merupakan suatu cara yang
terakhir untuk memperoleh tanah yang sangat diperlukan guna keperluan -
keperluan tertentu untuk kepentingan umum. Setelah dilakukan berbagai cara lain
tidak membawa hasill sebagaimana yang diharapkan sedangkan keperluan untuk
pembangunan tanah yang dimaksud sangat mendesak sekali.
Adapun
yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah adalah Presiden sebagai
pejabat eksekutif yang tertinggi setelah mendengar penjelasan Menteri Dalam
Negeri. Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan yaitu Menteri yang
bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak atas
tanah tersebut.
Menteri
Dalam Negeri memberi pertimbangan dari segi agraria dan politik, Menteri
Kehakiman dari segi hukumnya, sedangkan Menteri yang bersangkutan mengenai
fungsi dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat, apakah tanah atau
benda yang diminta itu benar-benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat
diperoleh ditempat lain.
Presiden
satu-satunya instansi yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk
mempertimbangkan dan memutuskan apakah benar kepentingan umum mengharuskan
dilakukannya pencabutan hak atas tanah tersebut. Keputusan Presiden itu tidak
dapat diganggu gugat dimuka pengadilan. Setelah Surat Keputusan dari Presiden
keluar dan telah disampaikan kepada mereka, maka isinya harus diumumkan di
dalam surat kabar. Kemudian barulah penguasa tanah yang baru dapat melakukan kegiatannya
setelah menerima Surat Keputusan dari Presiden dan dilakukannya pembayaran
ganti kerugian kepada yang berhak, dan melakukan penampungan terhadap mereka
yang bertempat tinggal di atas tanah tersebut.
Baik cara
perolehan tanah melalui kegiatan pengadaan tanah dengan kata sepakat maupun
pencabutan hak (sebagai suatu upaya hukum pamungkas & final jika pengadaan
tanah musyawarah untuk mencapai mufakat gagal dilakukan & tidak
dimungkinkan pemindahan lokasi kegiatan ke tempat lain), terhadap subyek hak
wajib diberikan ganti rugi yang layak.
Menurut Pasal 1 Butir 11 Peraturan Presiden No. 36 Tahun
2005, “Ganti rugi adalah penggantian
terhadp kerugian, baik bersifat fisik ataupun non-fisik, sebagai akibat
pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau
benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan
hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena
pengadaan tanah.”
Ganti rugi yang diberikan haruslah layak. Indikator layak
atau tidaknya ganti rugi berdasarkan Penjelasan Umum (5) UU No. 20 Tahun 1961,
”Ganti kerugian yang layak itu akan
berdasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan.”
Menurut A.P.
Parlindungan, dalam bukunya Pencabutan
dan Pembebasan Hak Atas Tanah : Suatu Studi Perbandingan, menegaskan, “Dalam pencabutan hak tersebut, orang yang
dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin ataupun akan menjadi
miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena
dikonsumsi. Minimal ia harus dapat dalam situasi ekonomi yang
sekurang-kurangnya sama seperti belum dicabut haknya, syukur kalau bertambah
lebih baik.”
Dalam memberikan ganti rugi, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan :
1. Didasarkan pada produk hukum putusan yang
bersifat mengatur.
2. Ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah
diperoleh hasil keputusan final musyawarah.
3. Mencakup bidang tanah, bangunan serta
tanaman yang dihitung berdasarkan tolok- ukur yang telah disepakati.
4. Pasal 13 (PerMen 65/06), wujud ganti rugi,
antara lain : uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali,
gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
5. Pasal 5 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun
1973 menegaskan bahwa ganti kerugian itu harus ditaksir secara obyektif dengan
tidak merugikan kedua belah pihak dan menggunakan norma-norma yang berlaku di
tempat itu.
Penjelasan Umum (5) UU Nomor 20 Tahun 1961
menegaskan bahwa penetapan besarnya ganti kerugian didasarkan atas nilai nyata
atau sebenarnya, tetapi tidak mesti sama dengan harga umum ataupun tidak
berarti pula harga yang murah.
Peranan Pemerintah dalam Menegakkan
Fungsi Sosial Hak Atas Tanah
Di bidang kebijakan operasional
keagrariaan sering terjadi simpang siur penafsiran dan penjabaran daripada ketentuan-ketentuan
peraturan agraria baik oleh aparat pemerintah maupun oleh anggota-anggota
masyarakat. Tergolong dalam hal tersebut dapat dilihat pada adanya
tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Instansi Pemerintah yang menguasai
tanah tanpa dilandasi suatu alasan hak atas tanah, sehingga sering timbul
sengketa mengenai penguasaan tanah dengan pihak lain.
2. Penguasaan tanah pertanian oleh
orang-orang melampaui batas yang diperbolehkan atau absentee.
3. Penguasaan tanah pertanian secara
berkedok, yaitu membeli tanah rakyat dengan harga murah untuk kemudian dijual
kembali dengan harga yang tinggi atau mendalilkan sebagian tanah persekutuan
hukum adat, tetapi diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi.
4. Jual-beli tanah diluar prosedur yang
berlaku secara dibawah tangan.
Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan
adanya penggunaan, pemilikan dan mutasi-mutasi tanah yang tidak sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku sehingga membawa akibat timbulnya
kegoncangan-kegoncangan atau benturan-benturan sosial di dalam masyarakat.
Keadaan seperti ini dapat terjadi oleh karena :
1. Belum dipahaminya peraturan hukum
tanah yang berlaku oleh sebagian besar masyarakat kita.
2. Kurangnya penerapan atau penyuluhan
tentang arti pentingnya hak-hak atas tanah.
3. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat,
sehingga menurunkan disiplin hukum nasional terhadap hukum yang berlaku.
4. Kurangnya pengawasan terhadap
pelaksanaan hukum.
5. Adanya, unsur-unsur kesengajaan dari
sementara oknum untuk berspekulasi dan manipulasi tanah dalam masyarakat.
6. Kurang tegasnya sanksi hukum terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
7. Sebagian hak atas tanah belum
didaftarkan dikantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya.
Selain itu, banyak juga terjadi masalah
mengenai ketertiban administrasi tanah sehingga menghambat usaha pemerintah
dalam melaksanakan prinsip fungsi sosial atas tanah.
Untuk menanggulangi masalah-masalah
tersebut pemerintah sudah banyak mempersiapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Data-data tentang kemampuan tanah.
2. Petunjuk teknis untuk menentukan
penggunaan/peruntukkan tanah pedesaan/perkotaan.
3. Menyusun rencana pembangunan
daerah/tata kota.
4. Pedoman penggunaan tanah sesuai dengan
ketinggian, keadaan lereng dan topografi tanah (perpetaan tanah).
Usaha-usaha pemerintah di atas belum
cukup untuk menanggulangi sepenuhnya persengketaan tanah tersebut sehingga
pemerintah perlu mengambil langkah-langkah lebih lanjut, antara lain :
1.
Penyuluhan atau penerangan kepada masyarakat akan arti pentingnya tertib hukum
pertanahan, untuk menumbuhkan kesadaran tentang kepastian hukum meliputi:
penertiban penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dengan dilandas, hak-hak
atas tanah yang sah.
2.
Menjatuhkan sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3.
Melengkapi peraturan-peraturan perundangan di bidang pertanahan.
4.
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis segenap aparatur negara.
5.
Peningkatan pengawasan eksteren dan interen.
6.
Mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan penyelewengan.
7.
Keberanian untuk intropeksi.
Dengan adanya langkah-langkah pemerintah
tersebut, diharapkan akan tercapai hal-hal sebagai berikut:
1. Terwujudnya tertib hukum pertanahan.
2. Menumbuhkan kepastian hukum pertanahan
dan hak-hak atas tanah serta penggunaannya.
3. Menciptakan susunan ketentraman adanya
tertib hukum pertanahan.
4. Mengayomi masyarakat dari tindakan
sewenang-wenang dan persengketaan- persengketaan.
5. Mendorong
gairah kerja.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas tanah yang hanya
ditujukan untuk kepentingan individu tidak diperbolehkan dengan mengingat
adanya pasal 6 UUPA yang menyatakan, “semua hak atas tanah memiliki fungsi
sosial”. Fungsi sosial yang dimaksud adalah di dalam hak pribadi terdapat hak
orang lain dimana apabila kepentingan umum menghendaki maka kepentingan pribadi
daat dikesampingkan dengan permbayaran ganti rugi. Pembayaran ganti rugi ini
juga diatur dalam pasal 18 UUPA. Yang dimaksud dengan kepentingan umum menurut
Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.
Fungsi
sosial ini sangat penting untuk diperhatikan dalam hal pengadaan tanah. Menurut
Pasal 1 Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan adalah
setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada
yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang
berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah ini juga harus dilakukan menurut tata
cara, syarat, dan prosedur ganti-rugi yang layak.
Peranan
pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang banyak
timbul akibat adanya ketentuan fungsi sosial dan pengadaan tanah dalam
perundang-undangan. Hal ini banyak disebabkan karena minimnya pengetahuan
masyarakat akan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah sementara di pihak
lain, banyak aparatur pemerintah yang tidak menegakkan peraturan pertanahan
tersebut secara efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Chamzah, Ali
Ahmad, Hukum Agraria (Pertanahan
Indonesia), Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003.
Gautama, Sudargo,
Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria,
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan, 1990
Hatta, Muhammad,
Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif
Negara Kesatuan, 2005.
Karta, Sapoetra
G., Masalah Pertanahan Indonesia,
Bina Aksara, Jakarta, 1986.
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah,
Prenada Media, 2005.
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar dengan baik!