Welcome

***Selamat datang di blog resmi Sofian Siregar*** Semoga blog ini bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Terimakasih telah berkunjung!

Friday, February 20, 2015

Fungsi Sosial Tanah Di Indonesia

 Fungsi Sosial Tanah dan kaitannya dengan asas kepentingan umum


PENDAHULUAN

Tanah merupakan salah satu bentuk karunia yang diberikan Tuhan pada negara kita. Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, tempat tinggal, gerak dan aktivitas. Oleh karena hakekat yang sangat penting itulah, maka tentang tanah akan selalu ada masalah, terutama untuk pembangunan fisik negara. Untuk itulah supaya tidak menimbulkan masalah, pemerintah berusaha mengaturnya dengan baik. Keadaan negara kita sebagai negara berkembang menuntut kita melakukan banyak perbaikan dan pembangunan. Banyaknya manusia yang memerlukan tanah, tetapi tidak bertambahnya jumlah tanah yang ada menjadi salah satu inti permasalahannya.

Lebih lanjut permasalahan mengenai tanah berkembang seperti realita yang terjadi belakangan ini yaitu munculnya kasus dan sengketa tanah banyak berawal dari tanah telantar di mana kondisi tanah yang menjadi spekulasi dunia usaha di semua sektor pembangunan disalahgunakan sehingga untuk menjalankannya diadakanlah proses pengadaan tanah yang asalnya dari tanah yang sudah dihaki oleh rakyat. Proses tersebut cukup memakan waktu yang lama karena salah satu pihak merasakan adanya ketidakadilan. Proses yang cukup lama ini otomatis membuat jalannya pembangunan menjadi tersendat.


Untuk itu perlu diperkenalkan pada masyarakat akan pentingnya fungsi sosial yang berlaku untuk seluruh hak-hak atas tanah sehingga dapat membantu mengubah cara berpikir individual masyarakat. Dengan prinsip ini kepentingan pribadi atas tanah tidak dibiarkan merugikan kepentingan banyak orang (umum). Apalagi ditambah dengan peraturan baru yaitu PERPRES Nomor 36 Tahun 2005 dengan perubahannya PERPRES Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Namun realitanya, pemerintah sulit mengaplikasikan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Oleh karena itu, pihak pemerintah seharusnya memperhatikan jumlah kerugian yang wajar, layak dan adil untuk pemegang tanah sehingga tujuan UUPA untuk mencari keseimbangan antara dua kepentingan rakyat (pembangunan) dan kepentingan individu dapat segera terwujud dengan baik.
HAKEKAT FUNGSI SOSIAL
Pengertian Fungsi Sosial
Prinsip tanah memiliki fungsi sosial sebenarnya merupakan antitesa hukum tanah Barat, bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasar Code Civil Perancis. Dasar filosofi Code Civil Perancis menganut konsep individualistik- liberal, sebuah landasan masyarakat borjuis Eropa abad XIX. Prinsip ini kemudian diadopsi berdasarkan asas konkordansi ke dalam hukum Indonesia yang diatur dalam UUPA No.5 Tahun 1960.

Sebelum lahirnya UUPA, ketentuan mengenai fungsi sosial ini diatur dalam pasal 26 ayat (3) UUDS 1950 yang menyatakan, “Hak milik itu adalah fungsi sosial”. Setelah lahirnya UUPA, ketentuan mengenai fungsi sosial diatur di dalam pasal 6 yang berbunyi, “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.” Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam UUDS 1950 dimana hanya hak milik yang mempunyai fungsi sosial.

Semua hak atas tanah yang disebutkan dalam pasal 6 UUPA, antara lain :
1.     Hak-hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).
2.     Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak menyewa atas tanah pertanian.
Dengan kata “mempunyai fungsi sosial” ini, maka hak-hak atas tanah yang ada pada seseorang itu akan tetap dihormati.
Pengertian fungsi sosial menurut Leon Duguit adalah, “Tidak ada hak subyektif (subyektief recht) yang ada hanya fungsi sosial. Dalam pemakaian suatu hak atas tanah, hanya memperhatikan kepentingan suatu masyarakat.” Duguit bertitik tolak pada penyangkalan terhadap adanya hak subyektif, yang ada hanyalah fungsi sosial. Pikiran Duguit ini sejalan dengan pikiran utilitarian yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering tentang kebahagian kolektif sebagai tujuan adanya hukum, bukan kebahagiaan individu. Kebahagiaan individu tercapai bilamana terlebih dahulu tercapai kebahagiaan sosial.
Sementara itu, Notonegoro berpendapat, “Hak milik adalah fungsi sosial, akan tetapi dalam arti bahwa itu bukannya menghilangkan sifat diri, melainkan di dalam hak milik tercantum sifat diri, dan di samping itu mempunyai sifat kolektif. Jadi sebenarnya perumusannya yang cocok dengan maksud itu, hubungan dengan kekuasaan manusia terhadap tanah mempunyai sifat perseorangan dan mempunyai sifat sosial.” Di dalam pendapatnya, Notonegoro hanya memasukkan hak milik sebagai hak yang memiliki fungsi sosial. Hal ini sesuai dengan ketentuan UUDS 1950 sebelum lahirnya UUPA.
Fungsi sosial hak atas tanah ini sejalan dengan groundnorm Indonesia yang mencita-citakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial yang kemudian dituangkan ke dalam Pasal 33 UUD 1945 perihal “dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat” dan dapat ditafsirkan bahwa fungsi sosial dari hak milik primair, diartikan hak milik itu tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Jelaslah bahwa antara konsep individualitas dan kolektivitas terhadap tanah harus equilibrium atau bercorak dwi tunggal. Jadi rnaksud dwi tunggal adalah bahwa setiap individual mempunyai fungsi sosial sesuai dengan Pancasila dimana di dalam individu tersebut selain melekat kepentingan individu juga rnelekat kepentingan sosial, misalnya hak milik dapat dicabut derni kepentingan sosial.
Tujuan Fungsi Sosial
Ronald Z. Titahelu mengemukakan bahwa fungsi sosial tidak saja dipergunakan untuk menerangkan kata tanah atau hak atas tanah, tetapi juga dipergunakan untuk menerangkan kata hukum. Jika dinyatakan fungsi sosial dari hukum, maka yang dimaksudkan adalah adanya daya kerja kemasyarakatan dari hukum atau daya kerja dari hukum terhadap masyarakat. Dengan kata lain, dapat dikatakan mendekati arti efektivitas hukum.
Fungsi sosial dapat diartikan sebagai suatu daya kerja kemasyarakatan tertentu yang timbul atau muncul pada waktu sesuatu digerakkan, diaktifkan, atau dikerjakan. Ada karakteristik tertentu yang menunjukkan adanya daya kerja kemasyarakatan. Dengan demikian dibutuhkan karakteristik tertentu untuk menandai arti dari tanah memiliki fungsi sosial, maupun fungsi sosial dari hukum.
Lebih khusus, dapat dikatakan tujuan fungsi sosial terdiri dari dua yaitu:
1.     Untuk mencapai kesejahteraan diri sendiri dan kesejahteraan bersama. Harus terpelihara kelestariannya, setiap perbuatan merusak barang atau benda yang berfungsi sosial adalah perbuatan tercela (amoral) yang harus diberi sanksi (Pasal 15 jo. Pasal 52 UUPA).
2.     Sementara dalam kaitannya dengan kepentingan umum, maka fungsi sosial bertujuan untuk melindungi mereka yang ekonominya lemah mendapat perlindungan secara wajar. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perbenturan diantara berbagai kepentingan antara satu dengan yang lainnya berkenaan dengan fungsi sosial hak milik atas tanah.
Karakteristik dan Sifat Fungsi Sosial

Fungsi sosial hak atas tanah memiliki karakteristik atau sifat sebagai berikut :
1.     Tanah dengan hak apapun tidak dibenarkan dipergunakan atau tidak dipergunakan, semata-mata untuk kepentingan pribadi.
2.     Penggunaan tanah tidak boleh merugikan masyarakat.   

Dengan demikian maka tanah dengan hak apapun juga, jika digunakan atau tidak digunakan untuk kepentingan pribadi, harus pula melibatkan kepentingan atau kemanfaatan bagi masyarakat. Dalam pengertian itu, kepentingan dan kemanfaatan bagi masyarakat harus diutamakan. Hal demikian memberi petunjuk bahwa ketika tanah dipergunakan atau tidak dipergunakan, pada saat itu juga daya kerja dari dipergunakan atau tidak dipergunakannya tanah itu menjangkau kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat secara bersama-sama. Inilah arti dari pernyataan bahwa setiap penggunaan atau tidak dipergunakannya tanah, daya kerja kemasyarakatan dari tanah itu selalu diwujudkan.

HAKEKAT KEPENTINGAN UMUM
Pengertian Kepentingan Umum
Pengertian kepentingan umum secara harfiah adalah suatu keperluan, kebutuhan atau kepentingan orang banyak dimana keperluan atau kebutuhan tersebut dapat dirasakan atau dinikmati orang banyak.


Menurut Keppres No. 55 Tahun 1993, kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Menurut pendapat John Salindeho, kepentingan umum adalah, “Kepentingan umum adalah termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan memperhatikan segi-segi sosial, politik, psikologis dan Hankamnas atas dasar azas-azas Pembangunan Nasional dengan mengindahkan Ketahanan Nasional serta Wawasan Nusantara.”

Dari rumusan di atas kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud kepentingan umum adalah meliputi : kepentingan bangsa, kepentingan negara, kepentingan bersama rakyat, dan kepentingan pembangunan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 di dalamnya tidak merumuskan secara jelas mengenai apa yang dimaksud kepentingan umum, tetapi hanya menyebutkan contoh-contohnya saja dari kegiatan untuk kepentingan umum misalnya : untuk membuat jalan raya, pelabuhan, bangunan industri, perumahan dan lainnya dalam pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 dimana pada Pasal 1 ditetapkan bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai kepentingan umum, yang meliputi bentuk-bentuk kegiatan pembangunan menyangkut bidang-bidang : Pertahanan, Pekerjaan umum, Perlengkapan umum, Jasa umum, Keagamaan, Ilmu Pengetahuan dan Seni Budaya, Kesehatan, Olah raga, Keselamatan umum terhadap bencana alam, Kesejahteraan sosial, Makam/kuburan, Pariwisata dan rekreasi, Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

Konsepsi Kepentingan Umum
Latar belakang pemikiran yang digunakan dalam perumusan UUPA terutama konseptualisasi Hak Menguasai Negara adalah penempatan Negara sebagai personifikasi rakyat secara keseluruhan (integral). Pada paham Negara integralistik ini juga menempatkan manusia Indonesia sebagai makhluk dwi tunggal dimana kepentingan sosial (kepentingan umum) lebih diutamakan dari kepentingan individu, dengan anggapan bahwa kepentingan umum tersebut telah dengan sendirinya mengandung kepentingan individu.

Konsepsi kepentingan umum yang menempatkan kepentingan rakyat sebagai keseluruhan tampak pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. Demikian juga pada Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993. Tetapi konsepsi tersebut kemudian dipengaruhi paham utilitarian yang hanya mensyaratkan kepentingan umum sebagai kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat, sebagaimana dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Dengan konsep yang demikian, telah dipahami bahwa terdapat kemungkinan sebagian lapisan masyarakat tertentu akan dikorbankan untuk kepentingan umum tersebut. Karena itulah, seharusnya paling tidak ini diimbangi dengan perlindungan hukum bagi rakyat terhadap kemungkinan terjadinya tindakan sewenang-wenang atas nama kepentingan umum.

Wewenang Perumusan Kepentingan Umum
Dalam UUPA, secara eksplisit istilah penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh pemiliknya—sebagai pelaku aktif—pada dasarnya dikenal dalam hal hapusnya pemilikan tersebut sehingga beralih menjadi tanah Negara. Ketentuan ini diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 sebagai Undang-Undang Organik.

Kepentingan umum ditafsirkan secara luas oleh pembuat Undang-Undang dengan memberikan pedoman umum, yang nantinya diaplikasikan dengan suatu Keputusan Presiden. Dengan demikian Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada lembaga eksekutif untuk menafsirkan kepentingan umum melalui regulasi seperti: Presiden mengeluarkan Instruksi yang memberi pedoman tentang penafsiran kepentingan umum.

Padahal jika berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961, maka Presiden hanya berwenang untuk mengeluarkan Keputusan Presiden yang merupakan jawaban atas permohonan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Artinya, Keputusan Presiden ini bersifat kasuistis yaitu bersifat penetapan dan berlaku sekali selesai (einmahlig). Pelibatan DPRD dalam Rencana Pembangunan terkesan hanya prosedural-formal, karena persetujuan para wakil rakyat tersebut hanya terhadap suatu kegiatan pembangunan tertentu tanpa dijelaskan konsekuensi apabila terjadi ketidaksetujuan. Hal ini pada masa pemerintahan Orde Baru, makin didukung oleh sistem birokrasi yang sentralistik.

Inilah perbedaannya dengan peraturan-peraturan pencabutan hak atas tanah sebelumnya (Onteigeningsordonantie 1920, Undang-Undang Dasar Sementara dan Konstitusi RIS dan juga UUPA), yakni yang semula harus berdasar Undang-Undang kemudian menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 yang dimandatkan oleh UUPA, “diaktualisasikan” menjadi berdasar Keputusan Presiden, dan selainnya adalah berdasar Rencana Pembangunan.

Oleh karena orientasi kepentingan umum kemudian lebih pada kepentingan pembangunan”. Pada masa Orde Lama, pengambilalihan hak atas tanah adalah dalam rangka kepentingan umum, bukan kepentingan pembangunan (yang diasumsikan sebagai kepentingan umum). Kepentingan pembangunan berarti kepentingan yang harus tunduk pada arah kebijakan pembangunan. Sehingga perkembangan konsep kepentingan umum pun menjadi lebih dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi atau kebijakan pembangunan yang diagendakan oleh pemerintahan tersebut. Semakin kapitalistik suatu rezim ekonomi, maka bisa dikatakan kepentingan umum pun semakin mengarah pada kepentingan kapitalis yang diindikasikan dalam pemilihan prioritas kepentingan sebagai kepentingan umum, dan pembukaan kesempatan masuknya investasi swasta dalam penyelenggaraan kepentingan umum tersebut. Dan karena pihak swasta telah dengan sengaja disertakan, maka sebagai konsekuensinya adalah dimungkinkannya orientasi keuntungan dalam penyelenggaraan tersebut.

Hubungan Fungsi Sosial Dengan Kepentingan Umum
Fungsi sosial memiliki kaitan yang erat dengan kepentingan umum seperti yang dirumuskan dalam pasal 18 UUPA. Di dalam pasal 18 ini dinyatakan bahwa, “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama bagi rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang”.

Pasal 18 ini memungkinkan negara untuk mencabut hak atas tanah untuk kepentingan sosial. Ketentuan pencabutan hak ini adalah merupakan ketentuan, yang memungkinkan negara untuk melaksanakan politik dan strategi pertahanan keamanan. Selain itu, pasal ini juga merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-hak atas tanah.  Pencabutan hak ini hanya dimaksudkan bilamana ada suatu kepentingan umum yang benar-benar menghendakinya. Kepentingan ini misalnya untuk pembuatan jalan raya, Pelabuhan, bangunan untuk industri pertambangan, perumahan dan kesehatan masyarakat serta lainnya dalam rangka pelaksanaan pembangunan masional.

Pencabutan hak dimungkinkan tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai dengan ganti kerugian yang layak. Atas dasar Pasal 18 tersebut maka dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.

Kalau disimak dari ketentuan tersebut maka terlihat bahwa yang diatur dalam Pasal 18 UUPA dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 itu hanya dalam kaitannya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Maka dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum, seseorang atau badan hukum pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan tanahnya. Hal ini sesuai dengan yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 UUPA sebelumnya yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Dalam Penjelasan Umum II angka (4) UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaannya dan sifat haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Hal ini bukan berarti hak perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Untuk itu  bagi orang atau badan hukum yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum, maka mereka berhak mendapatkan ganti kerugian yang layak. Dengan demikian antara kepentingan perorangan dan kepentingan masyarakat akan terjadi keseimbangan sehingga pada akhirnya diharapkan akan tercapai tujuan pokok yakni kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat.

PENGADAAN TANAH DALAM KAITANNYA DENGAN FUNGSI SOSIAL
Pengertian Pengadaan Tanah
Pengertian Pengadaan tanah secara tekstual yang tercantum dalam :
1.     Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993
Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
Pasal 1 ayat (2) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah.

2.     Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005
Pasal 1 butir (3) menyebutkan bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
Pasal 1 butir (6) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan uang ganti rugi atas dasar musayawarah.
3.     Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006:
Pasal 1 menyebutkan Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Menurut Arie Sukanti Hutagalung, pengertian pengadaan tanah adalah, “Dengan melihat lingkup pengadaan tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tersebut, tidak cukup hanya sampai berhenti pada proses pemberian ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut. Tetapi juga harus memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang terkena dampak atas pelaksanaan pengadaan tanah tersebut. Untuk itu lingkup kegiatan pengadaan tanah harus meliputi pula proses dimana mereka yang terkena proyek pembangunan untuk kepentingan umum tersebut tetap terpelihara kesejahteraan hidupnya seperti semula bahkan terjadi lebih baik dari pada sebelum dilakukan proyek tersebut.”

Pengadaan Tanah
Aktivitas pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan secara teoritis didasarkan pada azas/ prinsip tertentu dan terbagi menjadi dua subsistem:
1. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena kepentingan umum.
2. Pengadaan tanah oleh pemerintah karena bukan kepentingan umum (komersial).

Prinsip pengadaan tanah menurut Maria Soemardjono dan Oloan Sitorus mencakup :
1. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan apapun harus ada landasan haknya.
2. Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa (ini kaitannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD juncto Pasal 1 dan 2 UU Pokok Agraria).
3. Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/ badan hukum harus melalui kata sepakat antar pihak yang bersangkutan (kaitannya dengan UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM).

Dalam keadaan yang memaksa artinya jalan lain yang ditempuh gagal, maka presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pencabutan hak tanpa persetujuan subyek hak menurut UU No.20 tahun 1961.

Tujuan Pengadaan Tanah
Tujuan pengadaan tanah antara lain :
1. Untuk kepentingan perindustrian
Kawasan industri adalah tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi prasarana, sarana, dan fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri dan harus suatu perusahaan badan hukum yang didirikan menurut hukum indonesia dan berkedudukan di indonesia, serta tunduk kepada hukum indonesia yang khusus untuk mengelola kawasan industri.

Dalam pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 disebutkan bahwa tanah yang diadakan untuk kepentingan perindustrian adalah tanah-tanah masyarakat setempat dengan mengadakan musyawarah terlebih dahulu dengan masyarakat setempat tersebut.

Pengadaan tanah tersebut harus sudah diselesaikan dalam jangka waktu 2 tahun dengan perpanjangan 1 tahun lagi dengan musyawarah dengan penduduk setempat.

2. Untuk kepentingan pemukiman
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1984 diterbitkan ketentuan untuk penyediaan dan pemberian hak tanah untuk keperluan perusahaan pembangunan perumahan sederhana/perumahan murah yang diselenggarakan dengan fasilitas kredit perumahan rumah dari Bank Tabungan Negara.

Model, Cara, Musyawarah, dan Ganti Rugi Pada Pengadaan Tanah

Jenis-jenis model pengadaan tanah :
1. Pelepasan hak atas tanah untuk hak milik atas tanah (Pasal 2 Ay(1) Per Men 65/06).
2. Penyerahan hak atas tanah untuk HGU, HGB, Hak Pakai (atas TN), HPL.
Cara-cara  pengadaan tanah :
1. Jual-beli.
2. Tukar-menukar.
3. Atau cara lain yang disepakati.

Bahwa atas pertimbangan tersebut pengadaan tanah untuk kepentingan umum diusahakan dengan cara yang seimbang dan untuk tingkat pertama ditempuh dengan cara musyawarah langsung dengan para pemegang hak atas tanah (Pasal 9 Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1993). Adapun pengertian musyawarah dalam Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah, untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.

Syarat-syarat musyawarah, antara lain :
1. Didasarkan pada satu bentuk kebijakan yang dituangkan dalam satu produk hukum .
2. Kesamaan persepsi tentang kepentingan umum, cara PTUP, musyawarah, substansi penggantian yang layak.
3. Dilakukan secara langsung, bersama (egaliter/setara), efektif.
4. Saling menerima dan memberi (take & give) pendapat/ pandangan, saran, kritik, usul.
5. Hanya dapat dilaksanakan dengan hasil yang optimal, jika diketahui materi/ substansi yang dimusyawarahkan, tujuan, hambatan, target yang kongkrit, peran yang jelas, solusi yang adil.
6. Musyawarah tidak boleh ada pemaksaan kehendak pihak yang satu terhadap yang lain.
7. Pelibatan secara setara pemangku kepentingan dalam forum musyawarah tanpa ada egosektoral/ mengedepankan kepentingan individu/ kelompok/ golongan.
Dalam hal apabila jalan musyawarah tidak berhasil dilakukan, maka dilakukanlah pencabutan hak atas tanah sebagai jalan terakhir untuk mendapatkan tanah tersebut demi kepentingan umum. Adapun dasar hukumnya antara lain terdapat dalam Penjelasan Umum (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 1961, “Jika memang benar-benar untuk kepentingan umum, dalam keadaan memaksa, jalan musyawarah tidak dapat membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia, Sejarah, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Budi Harsono menyatakan, “Berbeda dengan pelepasan hak atau pembebasan tanah ataupun jual beli, yang merupakan cara-cara untuk memperoleh tanah atas dasar kesepakatan bersama, pencabutan hak adalah lembaga sarana untuk memperoleh tanah secara paksa. Maka ketentuannya berbentuk undang-undang. Dalam pencabutan hak, pihak yang mempunyai tanah berhadapan bukan dengan sesama pihak yang berkedudukan hukumnya sederajat, melainkan berhadapan dengan penguasa yaitu Presiden Republik Indonesia.”

Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umurn adalah merupakan suatu cara yang terakhir untuk memperoleh tanah yang sangat diperlukan guna keperluan - keperluan tertentu untuk kepentingan umum. Setelah dilakukan berbagai cara lain tidak membawa hasill sebagaimana yang diharapkan sedangkan keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud sangat mendesak sekali.

Adapun yang berwenang melakukan pencabutan hak atas tanah adalah Presiden sebagai pejabat eksekutif yang tertinggi setelah mendengar penjelasan Menteri Dalam Negeri. Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan yaitu Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha yang meminta dilakukannya pencabutan hak atas tanah tersebut.

Menteri Dalam Negeri memberi pertimbangan dari segi agraria dan politik, Menteri Kehakiman dari segi hukumnya, sedangkan Menteri yang bersangkutan mengenai fungsi dilakukannya pencabutan hak itu dalam masyarakat, apakah tanah atau benda yang diminta itu benar-benar diperlukan secara mutlak dan tidak dapat diperoleh ditempat lain.

Presiden satu-satunya instansi yang oleh undang-undang diberi wewenang untuk mempertimbangkan dan memutuskan apakah benar kepentingan umum mengharuskan dilakukannya pencabutan hak atas tanah tersebut. Keputusan Presiden itu tidak dapat diganggu gugat dimuka pengadilan. Setelah Surat Keputusan dari Presiden keluar dan telah disampaikan kepada mereka, maka isinya harus diumumkan di dalam surat kabar. Kemudian barulah penguasa tanah yang baru dapat melakukan kegiatannya setelah menerima Surat Keputusan dari Presiden dan dilakukannya pembayaran ganti kerugian kepada yang berhak, dan melakukan penampungan terhadap mereka yang bertempat tinggal di atas tanah tersebut.

Baik cara perolehan tanah melalui kegiatan pengadaan tanah dengan kata sepakat maupun pencabutan hak (sebagai suatu upaya hukum pamungkas & final jika pengadaan tanah musyawarah untuk mencapai mufakat gagal dilakukan & tidak dimungkinkan pemindahan lokasi kegiatan ke tempat lain), terhadap subyek hak wajib diberikan ganti rugi yang layak.

Menurut Pasal 1 Butir 11 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, “Ganti rugi adalah penggantian terhadp kerugian, baik bersifat fisik ataupun non-fisik, sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.

Ganti rugi yang diberikan haruslah layak. Indikator layak atau tidaknya ganti rugi berdasarkan Penjelasan Umum (5) UU No. 20 Tahun 1961, ”Ganti kerugian yang layak itu akan berdasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan.”

Menurut A.P. Parlindungan, dalam bukunya Pencabutan dan Pembebasan Hak Atas Tanah : Suatu Studi Perbandingan, menegaskan, “Dalam pencabutan hak tersebut, orang yang dicabut haknya itu tidak berada dalam keadaan lebih miskin ataupun akan menjadi miskin kelak karena uang pembayaran ganti rugi itu telah habis karena dikonsumsi. Minimal ia harus dapat dalam situasi ekonomi yang sekurang-kurangnya sama seperti belum dicabut haknya, syukur kalau bertambah lebih baik.”

Dalam memberikan ganti rugi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Didasarkan pada produk hukum putusan yang bersifat mengatur.
2. Ganti rugi baru dapat dibayarkan setelah diperoleh hasil keputusan final musyawarah.
3. Mencakup bidang tanah, bangunan serta tanaman yang dihitung berdasarkan tolok- ukur yang telah disepakati.
4. Pasal 13 (PerMen 65/06), wujud ganti rugi, antara lain : uang dan/atau tanah pengganti dan/atau pemukiman kembali, gabungan atau bentuk lain yang disepakati para pihak.
5. Pasal 5 Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 menegaskan bahwa ganti kerugian itu harus ditaksir secara obyektif dengan tidak merugikan kedua belah pihak dan menggunakan norma-norma yang berlaku di tempat itu.
Penjelasan Umum (5) UU Nomor 20 Tahun 1961 menegaskan bahwa penetapan besarnya ganti kerugian didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, tetapi tidak mesti sama dengan harga umum ataupun tidak berarti pula harga yang murah.

Peranan Pemerintah dalam Menegakkan Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

Di bidang kebijakan operasional keagrariaan sering terjadi simpang siur penafsiran dan penjabaran daripada ketentuan-ketentuan peraturan agraria baik oleh aparat pemerintah maupun oleh anggota-anggota masyarakat. Tergolong dalam hal tersebut dapat dilihat pada adanya tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Instansi Pemerintah yang menguasai tanah tanpa dilandasi suatu alasan hak atas tanah, sehingga sering timbul sengketa mengenai penguasaan tanah dengan pihak lain.
2. Penguasaan tanah pertanian oleh orang-orang melampaui batas yang diperbolehkan atau absentee.
3. Penguasaan tanah pertanian secara berkedok, yaitu membeli tanah rakyat dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang tinggi atau mendalilkan sebagian tanah persekutuan hukum adat, tetapi diperjualbelikan untuk kepentingan pribadi.
4. Jual-beli tanah diluar prosedur yang berlaku secara dibawah tangan.

Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan adanya penggunaan, pemilikan dan mutasi-mutasi tanah yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku sehingga membawa akibat timbulnya kegoncangan-kegoncangan atau benturan-benturan sosial di dalam masyarakat. Keadaan seperti ini dapat terjadi oleh karena :
1. Belum dipahaminya peraturan hukum tanah yang berlaku oleh sebagian besar masyarakat kita.
2. Kurangnya penerapan atau penyuluhan tentang arti pentingnya hak-hak atas tanah.
3. Kurangnya kesadaran hukum masyarakat, sehingga menurunkan disiplin hukum nasional terhadap hukum yang berlaku.
4. Kurangnya pengawasan terhadap pelaksanaan hukum.
5. Adanya, unsur-unsur kesengajaan dari sementara oknum untuk berspekulasi dan manipulasi tanah dalam masyarakat.
6. Kurang tegasnya sanksi hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
7. Sebagian hak atas tanah belum didaftarkan dikantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya.

Selain itu, banyak juga terjadi masalah mengenai ketertiban administrasi tanah sehingga menghambat usaha pemerintah dalam melaksanakan prinsip fungsi sosial atas tanah.

Untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut pemerintah sudah banyak mempersiapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Data-data tentang kemampuan tanah.
2. Petunjuk teknis untuk menentukan penggunaan/peruntukkan tanah pedesaan/perkotaan.
3. Menyusun rencana pembangunan daerah/tata kota.
4. Pedoman penggunaan tanah sesuai dengan ketinggian, keadaan lereng dan topografi tanah (perpetaan tanah).

Usaha-usaha pemerintah di atas belum cukup untuk menanggulangi sepenuhnya persengketaan tanah tersebut sehingga pemerintah perlu mengambil langkah-langkah lebih lanjut, antara lain :
1. Penyuluhan atau penerangan kepada masyarakat akan arti pentingnya tertib hukum pertanahan, untuk menumbuhkan kesadaran tentang kepastian hukum meliputi: penertiban penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah dengan dilandas, hak-hak atas tanah yang sah.
2. Menjatuhkan sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.
3. Melengkapi peraturan-peraturan perundangan di bidang pertanahan.
4. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan teknis segenap aparatur negara.
5. Peningkatan pengawasan eksteren dan interen.
6. Mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan penyelewengan.
7. Keberanian untuk intropeksi.
Dengan adanya langkah-langkah pemerintah tersebut, diharapkan akan tercapai hal-hal sebagai berikut:
1. Terwujudnya tertib hukum pertanahan.
2. Menumbuhkan kepastian hukum pertanahan dan hak-hak atas tanah serta penggunaannya.
3. Menciptakan susunan ketentraman adanya tertib hukum pertanahan.
4. Mengayomi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan persengketaan- persengketaan.
5. Mendorong gairah kerja.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hak-hak atas tanah yang hanya ditujukan untuk kepentingan individu tidak diperbolehkan dengan mengingat adanya pasal 6 UUPA yang menyatakan, “semua hak atas tanah memiliki fungsi sosial”. Fungsi sosial yang dimaksud adalah di dalam hak pribadi terdapat hak orang lain dimana apabila kepentingan umum menghendaki maka kepentingan pribadi daat dikesampingkan dengan permbayaran ganti rugi. Pembayaran ganti rugi ini juga diatur dalam pasal 18 UUPA. Yang dimaksud dengan kepentingan umum menurut Keppres No. 55 Tahun 1993 adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Fungsi sosial ini sangat penting untuk diperhatikan dalam hal pengadaan tanah. Menurut Pasal 1 Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pengadaan tanah ini juga harus dilakukan menurut tata cara, syarat, dan prosedur ganti-rugi yang layak.

Peranan pemerintah sangat penting dalam menyelesaikan sengketa pertanahan yang banyak timbul akibat adanya ketentuan fungsi sosial dan pengadaan tanah dalam perundang-undangan. Hal ini banyak disebabkan karena minimnya pengetahuan masyarakat akan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah sementara di pihak lain, banyak aparatur pemerintah yang tidak menegakkan peraturan pertanahan tersebut secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Chamzah, Ali Ahmad, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jilid I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2003.

Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jambatan, 1990

Hatta, Muhammad, Hukum Tanah Nasional dalam Perspektif Negara Kesatuan, 2005.

Karta, Sapoetra G., Masalah Pertanahan Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1986.

Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media, 2005.

 

No comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar dengan baik!