Welcome

***Selamat datang di blog resmi Sofian Siregar*** Semoga blog ini bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Terimakasih telah berkunjung!

Saturday, January 31, 2015

Contoh Skenario Sidang Pertama Klinis Pidana

SIDANG PERTAMA
Agenda : Pembacaan Surat Dakwaan

Yang berada dalam ruang sidang adalah panitera, kuasa hukum terdakwa, JPU dan pengunjung sidang (jika ada). Panitera lalu berdiri di depan pintu masuk.

Panitera : Pemeriksaan perkara pidana dengan register nomor 2242/ Pid.B/2013/Peradilan Semu/KH/FH-USU/MDN dengan terdakwa ‘Muhammad Galih Hanaru alias Ayong’ akan segera dimulai. Berhubung Majelis Hakim akan memasuki ruang sidang, hadirin kami harap untuk berdiri.

Hadirin berdiri, Majelis Hakim memasuki ruangan persidangan dengan formasi Hakim Ketua Majelis berada di tengah. Yang di depan adalah hakim anggota I (hakim senior) dan di belakang adalah hakim anggota II (Hakim Junior). Panitera ikut duduk di sebelah hakim anggota I setelah mempersilahkan hadirin duduk kembali.

Hakim : Pada hari Kamis, 4 April 2013, kami majelis hakim peradilan semu pendidikan hukum klinis fakultas hukum universitas sumatera utara akan memeriksa dan mengadili perkara dengan register nomor  2242/ Pid.B/2013/Peradilan Semu/KH/FH-USU/MDN dengan terdakwa ‘Muhammad Galih Hanaru alias Ayong’. Dengan ini sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

Friday, January 30, 2015

Hidup Penuh Perjuangan

Sebuah Puisi : Hidup Penuh Perjuangan
Cipt. Sofian Siregar

Duduk bagaikan batu
Di bawah pohon jambu
Menatap langit nan biru
Sampai khayal kan beradu

Senangnya bisa melayang
Seperti burung terbang
Menghias bintang terang
Menjadi benderang

Wahai malaikat terang
Kuatkanlah tekatku melaju dengan kencang
Menggapai segala tujuan yang menantang
Bersama hasrat yang terbayang

              Angin menghembus awan
              Bergerak bagaikan merpati
              Hidup penuh tantangan
              Yang tak bisa dihindari

              Benahi diri dengan semangat
              Seperti lebah yang menyengat
              Berjuang dengan giat
              Hingga kau mendapat tempat

              Tiada lagi penyesalan
              Jika semua telah dilakukan
              Mari gapai segala tujuan
              Hingga titik darah penghabisan

Thursday, January 29, 2015

Sebuah Wacana Kepemimpinan : Kita dan Presiden


http://www.makemac.com/wp-content/uploads/2013/01/248712_424360624303847_2112040473_n.png


Presiden adalah suatu nama jabatan yang digunakan untuk pimpinan suatu organisasi, perusahaan, perguruan tingi, atau negara. Pada awalnya, istilah ini dipergunakan untuk seseorang yang memimpin suatu acara rapat (ketua). Tetapi kemudian berkembang secara umum menjadi istilah untuk seseorang yang memiliki kekuasaan eksekutif. Lebih spesifiknya, istilah “Presiden” terutama dipergunakan untuk kepala negara suatu republik, baik dipilih secara langsung, ataupun tidak langsung.*
  
Presiden Indonesia adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Sebagai kepala negara, presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh wakil presiden dan menteri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari. Presiden dan wakil presiden menjabat selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan. Ia digaji sekitar 60 juta per bulan.**
 
Apakah kita siap menjadi seorang pemimpin bangsa ini?

Tentu sebagai warga negara yang baik dan cinta tanah air, kita harus mengatakan siap. Karena kedaulatan negara kita dipertaruhkan oleh sosok pemimpin. Namun mungkinkah semua orang sekaligus memimpin dalam waktu yang bersamaan. Tentu jawabannya YA. Pemimpin untuk diri masing-masing. Tapi bukan untuk suatu bangsa yang besar seperti Indonesia.

Apakah kita mampu memimpin diri kita masing-masing?
Bagaimana seharusnya sosok seorang pemimpin?

Tuesday, January 27, 2015

Selamatkan! Dunia, Indonesia, Kita dan Saya


Bagaimana kamu menceritakan 'Empat Kata Selamatkan'!
Selamatkan dunia!
Selamatkan Indonesia!
Selamatkan kita!
Selamatkan saya!

My story:
Selamatkan dunia! Maka kita masih dapat menikmati anugerah Tuhan. Berjuang untuk hidup.
Selamatkan Indonesia! Maka kita masih dapat tinggal di negara yang berdaulat. Bebas dari belenggu. Bebas berkreasi.
Selamatkan kita! Maka kita kuat dan tidak dapat dipecah belah oleh siapapun. Damai dan sejahtera.
Selamatkan saya! Maka saya harus dapat mengendalikan diri dan dapat menerima perbedaan yang ada di sekitar. Mau belajar dan tetap rendah hati. :D

Bagaimana dengan ceritamu!

Monday, January 26, 2015

Pengantar Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara


Dino sedang membaca tumpukan kertas yang ada di kamar abangnya yang sudah duduk di bangku kuliah. Dia sangat senang membaca walau umurnya masih delapan tahun. Ayahnya selalu membelikannya komik menjadi bahan bacaannya.

Melihat Dino sedang berada di kamarnya, Riko memarahinya dan menyuruhnya keluar. Riko sangat benci kalau barang miliknya dipegang oleh adiknya. Ia takut tangan jahilnya akan selalu merusak.

Lalu Dino menghampiri ayahnya sedang membaca koran. Ia duduk tepat di samping ayahnya. Tidak berniat untuk mengganggu ayahnya. Namun tatapannya yang tajam membuat ayahnya menatap ke arahnya penuh tanya.

Sunday, January 25, 2015

Memandang Polri dan KPK Suatu Harmoni

Cicak Vs Buaya? Konfrontasi yang merupakan timbunan rasa tidak puas dan rasa tidak percaya terhadap bagian administrasi publik, lembaga penegak hukum di Indonesia, Kejaksaan & Kepolisian dengan KPK.

Apakah benar KPK diibaratkan sebagai seekor cicak? Bukankah KPK Lembaga Negara yang independen. Bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Apakah benar Kepolisian diibaratkan sebagai seekor buaya? Bukankah Kepolisian berada dan tunduk di bawah kekuasaan presiden.

Wednesday, March 6, 2013

Urgensi Undang-Undang Kepresidenan


Membahas tentang urgensi terhadap undang-undang kepresidenan mengingatkan saya bersama dengan teman kelompok saya yang berhasil menjadi Finalis pada Kompetisi Legislative Drafting Padjajaran Law Fair 2012.

Sedikit berbagi wacana dari kelompok kami terhadap urgensi terhadap Undang-Undang Kepresidenan pada postingan berikut ini.

----------------------------------------------------------------------------------------------

Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat. Hal ini termaktub dalam konstitusi negara Indonesia, yaitu pada pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan rakyat tersebut dilaksanakan oleh lembaga-lembaga negara yang merupakan  mandataris Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam artian bahwa lembaga-lembaga negara tersebut memperoleh kewenangannya dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu. Beberapa diantara lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Komisi Yudisial.

Kedaulatan rakyat mengandung esensi bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan  rakyat. Implikasi dari paham kedaulatan rakyat terlihat dalam keterlibatan rakyat yang ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya melalui pemilihan umum.

Kepresidenan sebagai salah satu pelaksana kedaulatan rakyat memiliki kekuasaan yang besar, hal ini dapat dilihat dalam konstitusi bahwa kekuasaan kepresidenan tidak hanya menyangkut bidang eksekutif tetapi juga menyangkut bidang lainnya seperti yang diungkapkan oleh C.F.Stong, yang meliputi:

Thursday, August 30, 2012

Tenaga Kerja Asing di Indonesia

Oleh: Sofian Siregar

  BAB I PENDAHULUAN

 Latar Belakang
 Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan tenaga kerja antar negara. Pergerakan tenaga kerja tersebut berlangsung karena investasi yang dilakukan di negara lain pada umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh pemilik/investor. Sejalan dengan itu, demi menjaga kelangsungan usaha dan investasinya. Untuk menghindari terjadinya permasalahan hukum serta penggunaan tenaga kerja asing yang berlebihan, maka Pemerintah harus cermat menentukan policy yang akan di ambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing (modal asing) dengan tenaga kerja dalam negeri.

 Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia masih memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal tersebut diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan tenaga kerja asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing. Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap memprioritaskan TKI.

 Oleh karenanya dalam mempekerjakan tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Thursday, December 15, 2011

Parliamentary Threshold pada Pemilu Legislatif di Indonesia

Oleh: Sofian Siregar


Gambaran Umum

Parliamentary Threshold adalah ambang batas partai politik memperoleh kursi di DPR. Parliamentary Threshold merupakan salah satu pola penyederhanaan partai politik melalui peraturan perundang-undangan. Untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, partai politik harus memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 2,5 % dari jumlah suara sah secara nasional. Filosofis idealnya adalah dengan pembatasan parpol, maka visi, misi, dan program yang diusung parpol akan semakin jelas, transparan, dan dapat diterjemahkan secara nyata sehingga bermanfaat bagi rakyat. Selain itu, dengan jumlah partai terbatas, idealnya 5-7 parpol, rakyat akan lebih mudah mengenal parpol, sehingga rakyat tak dibuat bingung saat menentukan pilihannya. Hal lain terkait dengan penyederhanaan parpol adalah melalui ujian mengikuti pemilu. Artinya, jika dalam pemilu suatu parpol mendapatkan suara yang signifikan (sesuai dengan aturan UU Pemilu), maka parpol tersebut memang layak untuk ikut bertarung dalam pemilihan umum.
Parliamentary Threshold diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dengan ketentuan ini, Parpol yang tak beroleh suara minimal 2,5 persen tak berhak mempunyai perwakilan di DPR. Sehingga suara yang telah diperoleh oleh parpol tersebut dianggap hangus. Kemudian, Pasal 202 ayat (2) UU No 10 Tahun 2008 menyatakan bahwa konsep parliamentary threshold tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Sebagai suatu konsep yang baru dalam pemilihan umum anggota DPR, parliamentary threshold menuai banyak pro dan kontra. Pihak yang pro menyatakan bahwa konsep ini merupakan konsep yang bagus untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan sistem pemerintahan presidensial dan sistem multipartai di Indonesia yang dianggap tidak cocok bila disandingkan bersama. Scott Mainwaring yang melakukan studi perbandingan politik negara-negara berkembang tentang hubungan presidensialisme, multipartai dan demokrasi pada tahun 1993 juga menyatakan bahwa sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai. Kombinasi kedua sistem ini mengakibatkan sulitnya membangun koalisi antarpartai politik dan hal ini tentu saja dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Sedangkan pihak yang kontra melihat aturan parliamentary threshold tidak adil bagi partai politik baru dan hanya menguntungkan partai politik besar. Hal ini bisa dilihat menjelang pemilihan umum tahun 2009 dimana koalisi 10 partai politik peserta pemilu mengajukan uji materi Pasal 202 ayat (1) UU No 10 Tahun 2008 kepada Mahkamah Konstitusi.
Mainwaring mengatakan bahwa akan ada problem manakala sistem presidensial dikombinasikan dengan sistem multipartai. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Ini terjadi karena faktor fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen dan ”jalan buntu” bila terjadi konflik relasi eksekutif- legislatif. Karena itu, sistem presidensial lebih cocok menggunakan sistem dwipartai. Dengan menggunakan sistem ini, efektivitas dan stabilitas pemerintahan relatif terjamin.
Dampak multipartai di Indonesia dapat kita rasakan bersama, yaitu sulitnya Presiden untuk membuat “Decision Making” berkaitan dengan masalah kehidupan berbangsa dan negara yang strategis meliputi aspek; politik, ekonomi, diplomasi dan militer. Bila kita mengamati secara fokus hubungan antara eksekutif dan legislatif, Presiden mengalamai resistansi karena peran legislatif lebih dominan dalam sistem multipartai. Sebenarnya posisi Presiden RI sangat kuat karena presiden dipilih langsung oleh rakyat bukan dipilh oleh DPR. Tetapi dalam hal penerbitan dan pengesahan perundang-undangan presiden perlu dukungan DPR. DPR yang merupakan lembaga negara, justru menjadi resistansi dalam sistem pemerintahan kita, karena mereka bisa dengan kepentingan primordial masing-masing.


Batasan Permasalahan

Penerapan Parliamentary Threshold dalam pemilihan umum anggota DPR RI dan kaitannya dengan Hak Asasi Manusia.


Kajian Permasalahan

Wacana penyederhanaan partai politik semakin mengemuka terutama ketika membahas Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Secara teoritis, dalam sistem Presidensiil yang dianut oleh Indonesia, lebih cocok disandingkan dengan sistem multi-partai yang sederhana. Sedangkan sistem multipartai yang digunakan Indonesia selama ini lebih cocok untuk digunakan dalam sistem parlementer. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk membatasi jumlah partai yang politik yang duduk di parlemen, antara lain melalui Electoral Threshold atau melalui Parliamentary Threshold seperti yang dianut oleh Jerman.
Parliamentary Threshold di Indonesia, khususnya pada Pemilu 2009, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tersebut menjelaskan ketentuan yang berlaku dalam pasal 202, yaitu :
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Dengan begitu walaupun suatu partai politik mencapai perolehan suara mencapai Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) di suatu daerah “A” namun dikarenakan secara nasional perolehan suara partai politik tersebut tidak mencapai 2,5%, maka dengan sendirinya tidak diikutsertakan dalam pembagian kursi. Buktinya dari 38 partai peserta pemilu hanya 9 yang memiliki wakilnya di parlemen.
Tentunya kita bertanya kemana suara parpol yang tidak sampai memperoleh ambang batas 2,5% tersebut? Konsekuensi dari pemberlakuan undang-undang tersebut, suara parpol otomatis hilang/ hangus, sehingga kemudian suara tersebut tidak ikut dihitung, hanya parpol yang mencapai 2,5% suara sah nasional atau lebih saja yang diikutsertakan dalam perolehan kursi. Namun ketentuan Parliamentary Threshold tidak berlaku bagi pembagian kursi di tingkat DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten.
Disinilah letak titik lemah ketentuan tersebut diatas, karena suara rakyat pemilih parpol yang tak lolos Parliamentary Threshold (berkisar 18% lebih) cenderung tidak dipertimbangkan sama sekali, pertimbangan seseorang untuk memilih parpol tertentu pada dasarnya dikarenakan kesesuaian antara platform partai yang diperjuangkan dan ini mencederai hak asasi pemilih yang diakui dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi para penyusun undang-undang ini, mungkin ini merupakan salah satu cara untuk mengurangi lawan di parlemen, sehingga daya saing mereka meningkat. Dengan semakin banyaknya partai dibandingkan pemilu 2004 yang lalu, karena tidak semua partai dapat masuk ke DPR.
Sehingga ketentuan Parliamentary Threshold ini menimbulkan persoalan bagi sebagian kalangan, utamanya partai kecil, yang tidak mendulang banyak massa. Kekhawatiran muncul karena tipisnya harapan untuk duduk di DPR dan ikut menjadi penentu kebijakan nasional. Sementara keikutsertaan dalam pemerintahan dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Kekhawatiran lain juga muncul karena hanya partai besar saja yang dipastikan akan memperoleh kursi di DPR sehingga hanya kepentingan partai besar yang akan terpenuhi. Sementara partai kecil mengklaim bahwa mereka membawa kepentingan rakyat kecil yang selama ini gagal diperjuangkan oleh partai besar lainnya. Hal paling ekstrim yang dikhawatirkan sebagian kalangan adalah ketakutan bahwa dengan Parliamentary Threshold ini akan membawa Indonesia kembali pada era Orde Baru dimana parlemen dikuasai oleh partai besar dan dekat dengan kekuasaan.
Ismail Sunny dalam bukunya Demokrasi Menurut Pancasila menyebutkan bahwa tujuan penyelenggaraan Pemilihan Umum (general election) atau pemilu itu pada pokoknya dapat dirumuskan ada empat, yaitu :
1. sanakan prinsip kedaulatan rakyat;
4. untuk melaksauntuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;
2. untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;
3. untuk melaknakan prinsip hak-hak asasi warga.
Dalam hal ini ketentuan Parliamentary Threshold (PT) tidak lebih baik dari Electoral Threshold (ambang batas perolehan kursi suatu parpol agar dapat mengikuti Pemilu berikutnya), karena pemberlakuan PT lebih mengebiri prinsip-prinsip hak asasi warga. Mahkamah Konstitusi sendiri mengakui bahwa PT kurang baik dan inkonsisten. Namun meskipu12/10/11 1:10 AMn tidak baik karena itu bukan bidang MK, maka MK tidak boleh membatalkan.
Karena adanya kekhawatiran tersebut, maka ketentuan Parliamentary Threshold ini sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk di uji dengan undang-undang dasar 1945.
Pemohon perkara tersebut adalah partai-partai politik peserta Pemilu 2009, yaitu Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Patriot (PP), Partai Persatuan Daerah (PPD), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Nasional Banteng Kerakyatan (PNBK) Indonesia, Partai Perjuangan Indonesia Baru (PPIB), Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Kasih Demokrasi Indonesia (PKDI), dan Partai Merdeka, serta calon anggota DPR peserta Pemilu 2009 dan anggota Parpol peserta Pemilu 2009.
Mereka menganggap Pasal 202 ayat (1), Pasal 203, Pasal 205, Pasal 206, Pasal 207, Pasal 208, dan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) yang terkait dengan pemberlakuan Parliamentary Threshold tidak konstitusional.
Di antara ketiga kelompok Pemohon tersebut, MK menyatakan bahwa hanya anggota Parpol peserta Pemilu 2009 yang tidak memenuhi syarat sebagai Pemohon, karena tidak menunjukkan bukti kartu keanggotaan partai politiknya.
Terkait dengan pokok permohonan, MK berpendapat lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi partai politik baik berbentuk electoral threshold (ET) maupun Parlimentary Threshold. “Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi,” ucap Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar membacakan pertimbangan putusan.
Mengenai berapa besarnya angka ambang batas, menurut MK, adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh MK selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Hal ini tertuang dalam sidang pengucapan putusan perkara 3/PUU-VII/2009.


Simpulan

Pelaksanaan Parliamentary Threshold pada pemilu legislatif di suatu negara tidak berkaitan langsung dengan bentuk negaranya. Setiap negara bebas memilih bagaimana konsepsi demokrasi itu dilaksanakan. Letak utama dari pelaksanaan demokrasi adalah sejalan dengan nilai-nilai yang berkembang pada masyarakat di suatu bangsa. Sehingga, refleksi dari demokrasi tidak menuntut suatu negara harus menerapkan suatu pemilu yang baku, melainkan sesuai dengan nilai-nilai ketatanegaraan pada negaranya.
Letak dasar adanya parliamentary threshold adalah untuk mengefektifitaskan representasi suara rakyat di parlemen, bukan membatasi hak rakyat untuk memilih wakilnya di parlemen. Suara yang tidak terwakili, bukan berarti membuat rakyat kehilangan kedaulatannya di parlemen. Rakyat Indonesia baik yang pilihannya duduk di DPR maupun tidak, tetap dalam lajur demokrasi karena setiap anggota DPR yang dipilih harus mengesampingkan kepentingan golongan atau partainya, dan mengutamakan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Scott Mainwaring menyatakan sistem presidensial sebenarnya tidak tepat diterapkan di negara yang multipartai. Hal ini disebabkan di dalam sebuah sistem presidensial dan multipartai, membangun koalisi partai politik adalah hal yang umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial tidak bersifat mengikat dan permanen. Tidak adanya jaminan bahwa koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa kerja presiden. Hal ini memperlihatkan partai politik tidak mempunyai ideologi dalam koalisi. Mereka berkoalisi sesuai dengan isu yang ada dalam pemerintahan. Kombinasi seperti ini akan menghasilkan instabilitas pemerintahan. Hal ini bisa terjadi bila ada konflik antara eksekutif dengan legislatif yang menyebabkan deadlock.
Pemilu tahun 2009 dengan adanya parliamentary threshold sebesar 2.5%, dari 38 partai yang mengikuti pemilu terdapat 9 partai yang memiliki perwakilan di dalam DPR. Suara yang tidak terwakili dalam DPR pada pemilu 2009 mencapai 18.30%. Akan tetapi, tidak bisa menyebutkan bahwa 18.30% ini tidak terwakili di dalam DPR sebagaimana telah disebutkan tadi wakil yang telah duduk di DPR tidak hanya mewakili pemilihnya saja tetapi untuk seluruh rakyat Indonesia. Penerapan aturan ini tidak bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia karena esensi utamanya adalah adanya wakil yang dipilih secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Oleh karena itu, untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil, sistem multipartai yang ada di Indonesia sebaiknya disederhanakan. Salah satu caranya dengan parliamentary threshold ini. Adanya parliamentary threshold menjadi salah satu sarana untuk menyederhanakan partai dan ketentuannya bebas bagi suatu negara untuk menentukan batas dari parliamentary threshold. Sebagai contoh negara Israel yang menetapkan 2% dengan suara yang tidak terepresentasi di parlemen 3.05%, Jerman dengan parliamentary threshold sebesar 5% memiliki memiliki suara yang tidak terepresentasi di parlemen sebesar 6%. Negara Turki yang memiliki batas parliamentary threshold sebesar 10% memiliki suara yang tidak terepresentasi dalam parlemen sebesar 10% tidak menjawab ketakutan adanya suara yang tidak terwakili. Indonesia dengan parliamentary threshold 2,5%, masih memungkinkan dan tidak bertentangan dengan konstitusi hanya saja masih perlu dikaji atas dasar pertimbangan yang kuat termasuk diantaranya kesiapan dari partai yang ada.



Produk Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum
UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD
Risalah Sidang MK Perkara No 3/PUU-VII/2009 Perihal UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD 1945


Referensi:

• www.modusaceh.com focus: Parliamentary Threshold dan Multipartai Sederhana. Diakses pada tanggal 8 Desember 2011.
• MK Tak Bisa Batalkan PT, dalam http://www.inilah.com diakses tanggal 9 Desember 2011
• Pemilu 2009 yang Memerdekakan, dalam http://www. beritaIndonesia.com diakses tanggal 13 Mei 2009
• www.mahkamah kontitusi.go.id, ejurnal_Jurnal Konstitusi USU Vol 1 no 1.pdf, diunduh pada Jumat 9 Desember 2011 pukul 19.07 wib
• www.pemiluindonesia.com/kamus, pengertian Parliamentary Threshold. Diakses pada tanggal 9 Desember 2011

Saturday, September 17, 2011

Liger at Pematangsiantar Zoo



A Liger, the name of interbreeding between the Lions and Tigers are in Pematangsiantar Animal Park, North Sumatra-Indonesia. The animal is one example of genetic aberrations that should not be done by the breeder of animals for violating ethics, but in zoos and wildlife that frequent crossbreeding.