Apabila dalam praktik ketatanegaraan
yang terjadi, fenomena yang berjalan selama empat dekade terakhir ini
menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem bernegara yang lebih berat ke lembaga
eksekutif. Posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
pemerintahan yang tidak jelas batasan wewenangnya dapat berkembang ke arah yang
negatif berupa penyalahgunaan wewenang.
Pada saat itu sesuai dengan
pengamatan penulis UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam
menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian pemberian wewenang tersebut
tidak diikuti dengan batasan- batasan terhadap penggunaannya. Sehingga wewenang
tersebut menjadi meluas di berbagai bidang dan tidak lagi dijalankan sesuai
relnya.
Soekarno, mantan presiden RI
pertama, dalam rapat pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18
Agustus 1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat” nanti kalau kita
telah bernegara di dalam suasana yang lebih tentram kita tentu akan
mengumpulkan kembali MPR yang dapat membuat UUD yang lebih lengkap dan
sempurna.
Hal tersebut dikarenakan mendesaknya
keinginan untuk memproklamasikan kemerdekaan pada saat itu sehingga
infrastruktur bagi sebuah negara yang merdeka harus segera disiapkan.
Namun setelah berjalan sekian lama
UUD 1945 yang sering disebut bersifat supel dan jika ada kehendak mengubah
Undang-Undang Dasar harus dilaksanakan dengan referendum dan lain-lain tidak
dapat dipertahankan, karena seiring dengan perkembangan jaman maka UUD 1945
diadakan perubahan. Upaya politik untuk tidak mengadakan perubahan terhadap UUD
1945, sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 Pasal 3 juncto Aturan
Peralihan butir 2 juga tidak diikuti upaya oleh lembaga legislatif untuk
membuat ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak
banyak pasal didalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan peraturan
per-Undang-undangan dibawahnya dan pasal-pasal yang mengatur mengenai wewenang
presiden sebagai kepala negara merupakan beberapa diantaranya.
Selama kurun waktu kurang lebih 53
tahun dalam menjalankan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan yang sangat
besar oleh UUD 1945, yaitu antara lain tercantum dalam Pasal 10 sampai Pasal
15. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan
berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra
seputar penggunaannya.
Hal ini dapat disebabkan karena tiga
hal. Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak diikuti dengan
mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal hak-hak tersebut sifatnya
substansial bagi kehidupan bangsa sehingga memerlukan adanya kontrol, misalnya
pemilihan duta dan konsul, penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan
perang dan lain-lain.
Kedua, fenomena ketidakpercayaan
masyarakat terhadap pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan
sensitivitas dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah, khususnya presiden.
Ketiga, berkaitan erat dengan yang
kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran masyarakat
dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi yang tengah berjalan
pada saat ini.
Diskusi dan kajian tentang negara di
Indonesia pada umumnya didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa
negara merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri diatas semua
golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum. Kepercayaan yang tulus
pada hal ideal ini mungkin yang mendasari pendapat-pendapat diatas, yang oleh
para pejabat negara ini kemudian diturunkan menjadi jargon-jargon “demi
kepentingan umum”, ”pembangunan untuk seluruh masyarakat” dan sebagainya. Namun
pada kenyataan di lapangan terjadi banyak hal yang tidak membuktikan anggapan
ideal tersebut.
Praktik kenegaraan dan politik yang
dalam sejarah mendasarkan dirinya pada UUD 1945, ternyata cenderung
memanfaatkan secara negatif peluang yang diberikan UUD 1945, yaitu kekuasaan
sangat besar yang terpusat pada lembaga kepresidenan.
Sekurang-kurangnya ada lima
kekuasaan presiden yang tercatat dalam hukum positif Indonesia, kekuasaan
sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, kekuasaan legislatif,
kekuasaan yudikatif, serta kekuasaan militer dan darurat. Dalam praktik politik
dan ketatanegaraan selama masa orde baru, implementasi dari kekuasaan-kekuasaan
tersebut menjadi instrumen yang efektif untuk mengintervensi dan mengeliminasi
peranan lembaga-lembaga negara lain dalam penyelenggaraan kehidupan kenegaraan
dan pemerintahan.
Kekuasaan legislatif, kekuasaan
yudikatif serta kekuasaan militer dan darurat, merupakan tambahan dari
kekuasaan presiden yang konvensional. Secara konseptual, ketiga kekuasaan yang
langsung diberikan oleh UUD 1945 ini tidak dilakukan secara mandiri oleh
presiden, namun pada taraf pelaksanaan tampak kekuasaan presiden begitu
dominan, terutama dalam bidang pembentukan undang- undang dan dalam kedudukanya
sebagai penguasa tertinggi militer.
Jadi cukup jelas sebenarnya
kekuasaan presiden yang besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa
keberlakunya, cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk
kepentingan-kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan presiden ini kemudian
hanya menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan golongan tertentu yang
pragmatis sifatnya dan secara empiris selalu mengorbankan, atau paling tidak
mengeliminasi, kepentingan demokratisasi di Indonesia.
Adanya keinginan untuk memperbaiki
sistem ketatanegaraan Indonesia menuju Indonesia yang lebih baik, telah membawa
bangsa Indonesia pada keinginan untuk mengamandemen UUD 1945. Secara akademis
gagasan agar UUD 1945 diamandemen sebenarnya telah lama muncul yang dapat
dijumpai dalam berbagai publikasi. Namun sebagai bagian dari agenda politik
gagasan ini baru memperoleh momentumnya setelah jatuhnya rezim orde baru pada
bulan Mei 1998.
Tulisan menjadi bagian dari
wacana tentang kekuasaan pemerintahan oleh Presiden dan kekuasaannya sebagai
Kepala Negara.
Baca juga: Urgensi Undang-Undang Kepresidenan
Baca juga: Urgensi Undang-Undang Kepresidenan
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar dengan baik!