Welcome

***Selamat datang di blog resmi Sofian Siregar*** Semoga blog ini bermanfaat. Mohon maaf kalau ada kata yang salah. Terimakasih telah berkunjung!

Tuesday, February 10, 2015

Perwakafan Tanah Sebagai Kepedulian Umat Untuk Membangun Iman

PENDAHULUAN

Wakaf  adalah salah satu instrumen ekonomi Islam yang mengabungkan kedua -dua aspek rohani dan material yang merupakan suatu institusi pembangunan ummat yang sangat seimbang dan pentingnya dalam pembangunan ekonomi umat.
             
Pembangunan  adalah suatu proses usaha untuk menyusun sesebuah masyarakat atau negara kearah memajukan dan meningkatkan kualiti hidup manusia diperingkat individu dan masyarakat, pembangunan ekonomi adalah sebahagian aspek pembangunan tersebut. Matlamat akhir pembangunan Islam ialah, untuk memuliakan martabat manusia di dunia dan seterusnya kemuliaan diakhirat. Mencapai kemulian manusia meliputi kejayaan membangun manusia dalam ke semua dimensi keperluan tabiinya, semoga hidupnya berkualiti dan ke semua aspek kehidupan termasuk kemajuan ekonomi.

Persoalan wakaf dalam masyarakat tidak asing lagi terdengar, namun pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktek perwakafan dalam bentuk Undang-Undang bisa dibilang baru. Selama ini praktek perwakafan tidak jarang dilakukan dengan cara-cara konvensioal, kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh baik dari pengelolaannya maupun pendaftarannya.


Wakaf menurut bahasa Arab berarti “al-habsu” yang berarti dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjaukan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah.[1]

Sedangkan pengertian wakaf menurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 PP No. 41 Tahun

2004 Tentang Wakaf adalah:

“Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untik dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan umum menurut syariah.

Sebetulnya kalau wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf hidup masayarakat. Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah, pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini, seperti tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan menyeluruh melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni pengelolaan wakaf produktif. Untuk melihat potret perkembangan wakaf di Indonesia, akan diawali dengan menguraikan sekilas sejarah perkembangan wakaf dan regulasi yang dilakukan terhadap perwakafan di Indonesia.
             
Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid, surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan dari waktu ke waktu.
Sejarah pengelolaan wakaf di Indonesia mengalami beberapa fase. Paling tidak ada tiga fase besar pengelolaan wakaf di Indonesia yakni,

             
1) Periode Tradisional
 Pada fase ini wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni. Ajaran wakaf dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah, yaitu benda-benda wakaf diperuntuk kebanyakan untuk pembangunan fisik, seperti untuk masjid, mushalla, pesantren, tanah pekuburan, dan sebagainya. Pada periode ini keberadaan wakaf belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.
Di Indonesia, dari data yang dimiliki Departemen Agama RI tentang tanah wakaf di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa luas tanah wakaf adalah 1.566.672.406 M2 dan terletak pada 403.845 lokasi. Namun demikian, fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat tidak dapat dipungkiri, masih kurang dirasakan atau bahkan tidak sama sekali. Selama ini, distribusi aset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah mahdah. Pada fase ini, pada umumnnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan, seperti masjid, mushalla, sekolah, makam, dan lain-lain. Peruntukan yang lebih menjamin produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima sebagai yang inheren dalam wakaf.
Pada fase ini pengelolaan wakaf di Indonesia jauh ketinggalan dari negara Islam lainnya yang sudah mengarah pada wakaf produktif. Seperti yang dilakukan di Mesir sejak tahun 1971, pengelolaan wakaf mengalami kemajuan. Pengelolaan wakaf di negeri ini sudah mengarah kepada pemberdayaan ekonomi. Pihak pengelola wakaf melakukan kerja sama dengan bank Islam, pengusaha, developer. Kementerian Perwakafan (Wizarah al Awqaf) di negeri ini membangun tanah-tanah kosong yang dikelola secara produktif dengan mendirikan lembaga-lembaga perekonomian, ataupun dalam bentuk pembelian saham di perusahaan-perusahaan.
           
 2) Periode Semi Profesional
Periode ini merupakan masa pengelolaan wakaf secara umum masih sama dengan fase tradisional. Namun, pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf produktif, meskipun belum maksimal. Misalnya, penambahan fasilitas gedung pertemuan, pernikahan, toko atau mini market, dan fasilitas lainnya yang berada dalam pekarangan masjid yang dibangun di tanah wakaf. Seperti yang telah dilakukan di Masjid Pondok Indah Jakarta, Masjid Taqwa Kota Padang, dan beberapa masjid lainnya di Indonesia. Hasilnya digunakan untuk biaya operasional masjid atau untuk anak yatim piatu. Gedung atau ruangan tersebut disewakan. Selain itu, juga mulai dikembangkan pemberdayaan tanah wakaf untuk pertanian, pendirian tempat usaha seperti toko, koperasi, perbengkelan, penggilingan padi. Hasil usaha digunakan untuk kepentingan pengembangan di bidang pendidikan. Seperti yang dilakukan Pondok Pesantren Modern As-Salam Gontor, Badan Wakaf Universitas Indonesia, dan yayasan pendidikan lainnya.
Kemajuan pengelolaan wakaf yang dilakukan di Indonsia tersebut setidaknya sudah hampir mendekati kemajuan pengelolaan wakaf yang telah dilakukan Mesir. Seperti Universitas Al-Azhar di Kairo dengan wakaf yang amat besar, Universitas mampu membiayai operasional pendidikannya selama berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah. Bahkan Universitas tersebut mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia selama berabad-abad.

            
 3) Periode Profesional
Periode ini ditandai dengan pemberdayaan potensi wakaf secara produktif. Keprofesionalan yang dilakukan meliputi, aspek manajemen, SDM nazhir, pola kemitraan usaha, bentuk wakaf benda bergerak, seperti uang, saham, surat berharga lainnya, dukungan political will pemerintah secara penuh dengan lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara produktif dan profesional adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial lainnya. Lembaga pengelola dana wakaf menyalurkan kepada sektor ril secara mudhârabah, atau menginvestasikannya disektor keuangan syari’ah. Kemudian, hasilnya diberikan kepada mauquf ‘alaih sesuai dengan tujuan wakaf, seperti yang dilakukan oleh Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa Republika, Wakaf uang Muamalat Baitul Mal Muamalat. Hasil dari pengembangan itu dipergunakan untuk keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat, dan bantuan untuk pengembangan sarana dan prasarana ibadah.
Pengelolaan wakaf seperti ini jauh sebelumnya telah dilakukan di Bangladesh. Sejak tahun 1995 di negara itu didirikan Social Investment Bank Ltd. (SIBL) yang mengembangkan pasar modal sosial (the Voluntary Capital Market). Instrumen-instrumen keuangan Islam pun dikembangkan seperti obligasi pembangunan wakaf properti (Waqf Properties Development Bond), Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate). Wakaf uang di negara tersebut dapat menggantikan sebagian pajak penghasilan untuk pembangunan infrastruktur, sosial, dan kemanusiaan.

REGULASI PERWAKAFAN DI INDONESIA

--> -->
Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat hukum positif. Dalam proses perumusan kebijakan tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat potensi maupun organsiasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya, maupun kepentingan umat Islam pada umumnya. 

Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf atau filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam boleh berperan di ruang publik. 


Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren, masjid, yang semuanya dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf. 

Politik pemerintah pada masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial. Namun, karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, seperti:


a) Surat Edaran Sekretaris Guberneman Tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Tentang Toezicht Op Den Bouw Van Mohammedaansche Bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa dan Madura supaya bupati mendata rumah-rumah ibadah.


b) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur tentang keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan agar wakaf yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua Pengadilan Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya dilaporkan ke Kantor Landrente.


c) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1934, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Dalam surat edaran ini diatur, tentang kewenangan bupati dalam menyelesaikan sengketa dalam pelaksanaan shalat jum’at bila diminta oleh para pihak.


d) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 13480 Tahun 1935 Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini hanya mempertegas surat edaran sebelumnya, dimana bupati dapat melakukan pendataan harta wakaf.
Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will) yang jujur serta pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf. Akibatnya, peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur tangan pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama Islam. Ini berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi formalisme administratif semata.

             
Formalisme ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam pada masa Orde Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada. Ada pun peraturan yang mengatur wakaf pada masa orde lama adalah:


(1) Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama untuk mengurus wakaf. Selanjutnya PP ini ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Agama Nomor 9 Tahun 1952 yang memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Urusan Agama Kabupaten untuk menyelidiki, mendata, dan mengawasi penyelenggaraan perwakafan. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Agraria Tanggal 5 Maret 1959 Nomor Pem.19/22/23/7: S.K./62/Ka/59P., mengalihkan kewenangan bupati sebagai pengawas harta wakaf menjadi tugas Kepala Pengawasan Agraria. Secara hirarki peraturan hukum di Indonesia, jelas peraturan-peraturan ini masih lemah. Kemudian, aturan tentang wakaf dimasukkan dalam undang-undang agraria.


(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal 49 undang-undang ini menyatakan, negara melindungi keberlangsungan perwakafan di Indonesia dengan mengaturnya secara khusus dalam peraturan pemerintah, Namun, peraturan pemerintah itu baru lahir tahun 1977.


Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan dengan perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki arti penting bagi pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi formalisme administratif semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini lebih berkonsentrasi untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil terutama Islam, sembari menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara konsisten, malah Islam hampir termarginalkan. 

Keadaan ini terus berlangsung sampai paroh kedua dasarwarsa 1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai diterima di ruang publik. Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa orde baru adalah:


(a) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
 Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. 

Selama ini di Indonesia, peraturan yang mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul persoalan perwakafan di tengah masyarakat, seperti banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang statusnya tidak jelas, banyak benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya, penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini karena tidak adanya keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf. Barulah dengan ditetapkannya peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat.
 

Dengan keluarnya peraturan pemerintah ini, seluruh peraturan yang mengatur perwakafan seperti yang tercantum dalam Bijblad Nomor 6196 tahun 1905, dan bijblad tahun 1931 Nomor 12573, serta bijblad tahun 1935 Nomor 13480 sepanjang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku lagi. 


Selanjutnya, peraturan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan peraturan pelaksana teknis lainnya. Walaupun peraturan pemerintah telah dikeluarkan, dalam perjalanannya ternyata perturan-peraturan perwakafan yang ada ini belum berjalan secara efektif dalam menertibkan perwakafan di Indonesia. Untuk itu tanggal 30 November 1990 dikelurkan Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 4 Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun 1990 Tentang Sertifikat Tanah Wakaf.


(b) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Instruksi yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III. 

Kemudian inpres ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama No 154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991, meminta kepada seluruh instansi di lingkungan Departemen Agama termasuk Peradilan Agama untuk menyebarluaskan KHI. Aturan yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf walaupun secara substansi masih berbentuk elaborasi dari aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. 

Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung bersifat fiqih minded. Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk unifikasi pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan perwakafan.

             
 Sejalan dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun 1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk undang-undang. 

Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf. 

Pengesahan undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja, tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan kesejahteraan umum. 

Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak sewa dan sebagainya.
            
Campur tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf. Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan permasalahan sosial umat Islam. 

Perkembangan peraturan perundang-undangan tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta hubungan harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini memungkinkan berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu, demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. 

Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh proses integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern. 

Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak, maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner. 

Jika dapat direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.

            
 Dengan disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi mereka lebih bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi dan tidak hanya sekedar unggul dalam statistik.

Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat, negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan umat Islam.
Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. 

Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

         
Sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi pengelolaan wakaf. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah dibantu oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI). 

Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, pemerintah (Departemen Agama) melakukan berbagai upaya dalam rangka mendorong dan menfasilitasi agar pengelolaan wakaf dapat dilakukan secara profesional, amanah, dan transparan sehingga tujuan pengelolaan wakaf dapat tercapai. 

Untuk itu, sebagai langkah kongkrit Departemen Agama dalam merespon kebutuhan tersebut, dibentuklah Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Dengan lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang terpisah dari Direktorat Pemberdayaan Zakat merupakan bentuk kesungguhan pemerintah dalam mendorong dan menfasilitasi bagi pemberdayaan wakaf secara lebih baik.

UNSUR-UNSUR DAN SYARAT WAKAF


Unsur Wakaf menurut Pasal 6 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, yaitu:
1.     Wakif (Orang yang berwakaf)
2.     Nazhir (Penerima wakaf)
3.     Harta Benda Wakaf
4.     Ikrar Wakaf
5.     Peruntukan Harta Benda Wakaf
6.     Jangka Waktu Wakaf
             
Beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wakaf, di antaranya ialah:
1.     Tujuan wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam. Oleh karena itu mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah agama lain, tidak sah. Tapi kalau misalnya mewakafkan tanah untuk dijadikan jalanan umum yang akan dilalui oleh orang Islam dan Non Islam, tidak mengapa.[2]
2.     Tidak mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah yang menimbulkan fitnah.[3]
 
Kalau wakaf diberikan melalui wasiat, yaitu baru terlaksana setelah si wakif meninggal dunia, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3 sebagian jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.

TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF 

--> Menurut Pasal 4 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf seuai dengan fungsinya. Dan Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.(Pasal 5 UU Wakaf)

TATA CARA PELAKSANAAN WAKAF
 
-->
Menurut Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2006 tentang Wakaf:
1.     Wakaf untuk barang tidak bergerak
a)     Pendaftaran harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW (Akta Ikrar Wakaf atau APAIW (Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf).
b)    Selain persyaratan diatas dilampirkan juga persyaratan sebagai berikut:
1)    sertifikat hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
2)    surat pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara, sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh camat setempat;
3)    izin dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan dalam hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD dan pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu;
4)    izin dari pejabat bidang pertanahan apabila dari sertifikat dan keputusan pemberian haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan.
5)    izin dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau hak pakai yang diwakafkan di atas hak pengelolaan atau hak milik.

2.     Wakaf Untuk barang bergerak selain uang
PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) mendaftarkan AlW dari:
a)     benda bergerak selain uang yang terdaftar pada instansi yang berwenang;
b)    benda bergerak selain uang yang tidak terdaftar dari yang memiliki atau tidak memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan selama daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pendaftaran tersebut dilakukan di Kantor Departemen Agraria setempat.
c)     Untuk benda bergerak yang sudah terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda bergerak tersebut.
d)    Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
e)     Untuk benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh instansi pemerintah setempat.

3.     Wakaf Untuk Uang
a)     LKS-PWU (Lembaga Keuangan Syariah) atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf uang kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang.
b)    Pendaftaran wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada BWI untuk diadministrasikan.
c)     Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan Peraturan Menteri. 

Menurut Buku III Kompilasi Hukum Islam:
(1)   Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2)   Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3)   Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4)   Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut:
a)     tanda bukti pemilikan harta benda;
b)    jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
 c)  surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang bersangkutan. 

PRAKTEK PERWAKAFAN TANAH SEBAGAI WUJUD KEPEDULIAN UMAT

Menuju waqaf yang produktif tentu saja tidak semudah membalikan telapak tangan kerana banyak halangan-halangan yang harus dihadapi. Halangan yang paling menonjol  yang dirasakan adalah ketika perbincangan tentang waqaf hanya dilakukan dalan batas tinjauan ”hukum” dan tidak dilakukan melalui ekonomis. Kenyataan yang paling mudah dirasakan ialah ketidak mampuan harta waqaf menaikkan angka kemiskinan ditengah-tengah masyarakat. Berlainan pula jika waqaf dipandang melaui tinjauan ”sosial ekonomi” sehinggan keberadaannya benar-benar memberikan erti yang mendasar dalam kehidupan umat.Kepentingan untuk  meninjau waqaf melalui kaca mata ” sosial ekonomi” ini kerana harta wakaf  itu sendiri termasuk salah satu  pilar yang dapat menyokong perekonomian umat bila dikelola dengan tepat.
             
Penggunaan harta wakaf pada masyarakat masih bersifat konsumtif dan masih banyak lagi yang belum difungsikan secara baik. Hal ini mengindikasikan bahawa perkembangan wakaf secara totalitas belum menggembirakan dan bahkan terkesan kontraproduktif. Kontraproduktif ini muncul disebabkan pengelolaan wakaf selama ini hanya sebatas ibadah kepada Allah dan jarang sekali menyentuh keperluan apek-aspek sosial . Sebagai contoh bahawa keberadaan masjid yang diwaqafkan hanya dipergunakan untuk persoalan ibadah kepada Allah seperti sholat.Demikian juga halnya sejumlah tanah wakaf yang hanya dijadikan sebagai kuburan adalah merupakan bukti bahawa wakaf belum dapat memberi sifat-sifat produktifnya.
             
Dalam konteks pembangunan masyarakat Islam sumbangan tanah wakaf produktif pada masa sekarang ini merupakan suatu pengganti untuk meningkatkan pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pada umumnya wakaf tanah yang merupakan sumbangan yang memberikan hasil positif apabila pengelolaannya dibawah kawasan umat Islam seperti di bandar Medan ( Sumatera Utara). Dari data yang tersenarai ternyata semua tanah wakaf yang terletak di negeri Sumatera Utara yang luasnya 100.898.713 M2 dan jumlah luas tanah wakaf yang sudah dimanafaatkan di negeri Sumatera Utara adalah 4.414.817 M2 hanya ( 4 peratus ) . Ini bererti terdapat 96.483.896 M2(96 peratus) tanah wakaf di negeri Sumatera Utara yang belum dimanafaatkan.[4]
             
Dengan banyak tanah wakaf yang terbiar dan tidak dikelola dengan baik. Maka dengan adanya konsep pemanafaatkan wakaf tanah produktif ini dapat memberikan keberkesanan  terhadap perkembangan ekonomi umat islam dan  dapat juga diagihkan kepada sektor riil ekonomi lain  serta dapat meringankan kehidupan masyarakat Islam  antara lain, membantu meningkatkan pendapatan masyarakat Islam, meningkatkan taraf pendidikan  yang mempunyai daya saing yang kuat dan semakin maju serta tahap kesihatan yang lebih baik. Dengan terlaksananya  sumbangan bentuk wakaf tanah produktif yang dikelola dengan baik, maka diharapkan akan memperbaiki sosio-ekonomi masyarakat.
            
Dalam menjalankan wakaf tanah produktif berhasil atau tidak berhasilnya pada, pihak-pihak yang paling berperan aktif dalam pengelolan dan sumbangan harta wakaf adalah bahagian pihak Nazir wakaf, yaitu seorang, kelompok orang atau badan hukum yang diserahkan tugas oleh wakif untuk mengelola tanah. Namun demikian manafaat dari hasil harta wakaf ini, maka wujud nazir secara profesional sangat diperlukan bahkan menduduki pada peranan pusat dalam pengelolan wakaf tersebut.  Sebab di bawah kuasa Nazirlah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan wakaf serta menyalurkan hasil dan manfaatnya.
 
KESIMPULAN
-->
Wakaf  adalah salah satu instrumen ekonomi Islam yang mengabungkan kedua -dua aspek rohani dan material yang merupakan suatu institusi pembangunan ummat yang sangat seimbang dan pentingnya dalam pembangunan ekonomi umat.
             
Dengan disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi mereka lebih bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi dan tidak hanya sekedar unggul dalam statistik. Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat, negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan umat Islam.


Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
             
Dengan banyak tanah wakaf yang terbiar dan tidak dikelola dengan baik. Maka dengan adanya konsep pemanafaatkan wakaf tanah produktif ini dapat memberikan keberkesanan  terhadap perkembangan ekonomi umat islam dan  dapat juga diagihkan kepada sektor riil ekonomi lain  serta dapat meringankan kehidupan masyarakat Islam  antara lain, membantu meningkatkan pendapatan masyarakat Islam, meningkatkan taraf pendidikan  yang mempunyai daya saing yang kuat dan semakin maju serta tahap kesihatan yang lebih baik. Dengan terlaksananya  sumbangan bentuk wakaf tanah produktif yang dikelola dengan baik, maka diharapkan akan memperbaiki sosio-ekonomi masyarakat.

[1] Drs. H. Adijani Al-Alabij, S.H., Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm 25
[2]Drs. H. Adijani Al-Alabij, op. cit, hlm 34
[3] Ibid
[4] Departemen Agama RI 2005, Klasifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf  Se-Sumatera Utara dan Kalimantan, Penerbit, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Penerbit Jakarta, h.46



-->
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:
§  Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
§  Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
§  Kompilasi Hukum Islam  

  
Buku:
§  Drs. H. Adijani Al-Alabij, S.H., Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002
§  Departemen Agama RI 2005, Klasifikasi Pemanfaatan Tanah Wakaf  Se-Sumatera Utara dan Kalimantan, Penerbit, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta
 



No comments:

Post a Comment

Silahkan berikan komentar dengan baik!