PENDAHULUAN
Wakaf adalah salah satu instrumen ekonomi Islam yang
mengabungkan kedua -dua aspek rohani dan material yang merupakan suatu
institusi pembangunan ummat yang sangat seimbang dan pentingnya dalam
pembangunan ekonomi umat.
Pembangunan
adalah suatu proses usaha untuk menyusun sesebuah masyarakat atau negara kearah
memajukan dan meningkatkan kualiti hidup manusia diperingkat individu dan
masyarakat, pembangunan ekonomi adalah sebahagian aspek pembangunan tersebut.
Matlamat akhir pembangunan Islam ialah, untuk memuliakan martabat manusia
di dunia dan seterusnya kemuliaan diakhirat. Mencapai kemulian manusia meliputi
kejayaan membangun manusia dalam ke semua dimensi keperluan tabiinya, semoga
hidupnya berkualiti dan ke semua aspek kehidupan termasuk kemajuan ekonomi.
Persoalan wakaf dalam masyarakat tidak asing lagi terdengar, namun pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktek perwakafan dalam bentuk Undang-Undang bisa dibilang baru. Selama ini praktek perwakafan tidak jarang dilakukan dengan cara-cara konvensioal, kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh baik dari pengelolaannya maupun pendaftarannya.
Wakaf menurut bahasa Arab berarti “al-habsu” yang berarti dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjaukan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah.[1]
Sedangkan pengertian wakaf menurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 PP No. 41 Tahun
Persoalan wakaf dalam masyarakat tidak asing lagi terdengar, namun pengaturan tentang sumber hukum, tata cara, prosedur, dan praktek perwakafan dalam bentuk Undang-Undang bisa dibilang baru. Selama ini praktek perwakafan tidak jarang dilakukan dengan cara-cara konvensioal, kurang memperoleh penanganan yang sungguh-sungguh baik dari pengelolaannya maupun pendaftarannya.
Wakaf menurut bahasa Arab berarti “al-habsu” yang berarti dari kata kerja habasa-yahbisu-habsan, menjaukan orang dari sesuatu atau memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah.[1]
Sedangkan pengertian wakaf menurut apa yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 1 PP No. 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf adalah:
“Perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untik dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan umum menurut syariah.
Sebetulnya
kalau wakaf dikelola secara baik, dapat meningkatkan taraf hidup masayarakat.
Selama ini, peruntukan wakaf di Indonesia kurang mengarah pada pemberdayaan
ekonomi umat, cenderung terbatas hanya untuk kepentingan kegiatan ibadah,
pendidikan, dan pemakaman semata, kurang mengarah pada pengelolaan wakaf
produktif. Beban sosial ekonomi yang dihadapi bangsa saat ini, seperti
tingginya tingkat kemiskinan dapat dipecahkan secara mendasar dan menyeluruh
melalui pengelolaan wakaf dalam ruang lingkup yang lebih luas yakni pengelolaan
wakaf produktif. Untuk melihat potret perkembangan wakaf di Indonesia, akan
diawali dengan menguraikan sekilas sejarah perkembangan wakaf dan regulasi yang
dilakukan terhadap perwakafan di Indonesia.
Sejarah
perkembangan wakaf di Indonesia sejalan dengan penyebaran Islam di seluruh
wilayah nusantara. Di samping melakukan dakwah Islam, para ulama juga
mengajarkan wakaf pada umat. Kebutuhan akan tempat beribadah, seperti masjid,
surau, mendorong umat Islam untuk menyerahkan tanahnya sebagai wakaf. Ajaran
wakaf di bumi Nusantara terus berkembang terbukti dengan banyaknya
masjid-masjid bersejarah yang dibangun di atas tanah wakaf. Seiring dengan
perkembangan sosial masyarakat Islam, praktek perwakafan mengalami kemajuan
dari waktu ke waktu.
Sejarah pengelolaan wakaf di Indonesia mengalami beberapa
fase. Paling tidak ada tiga fase besar pengelolaan wakaf di Indonesia yakni,
1) Periode
Tradisional
Pada fase ini wakaf masih ditempatkan sebagai ajaran yang murni.
Ajaran wakaf dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah, yaitu benda-benda wakaf
diperuntuk kebanyakan untuk pembangunan fisik, seperti untuk masjid, mushalla,
pesantren, tanah pekuburan, dan sebagainya. Pada periode ini keberadaan wakaf
belum memberikan kontribusi sosial yang lebih luas karena untuk kepentingan
yang bersifat konsumtif.
Di Indonesia, dari data yang dimiliki Departemen Agama
RI tentang tanah wakaf di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa luas tanah wakaf
adalah 1.566.672.406 M2 dan terletak pada 403.845 lokasi. Namun demikian,
fungsi wakaf secara khusus sebagai pemberdaya ekonomi masyarakat tidak dapat
dipungkiri, masih kurang dirasakan atau bahkan tidak sama sekali. Selama ini,
distribusi aset wakaf di Indonesia cenderung kurang mengarah pada pemberdayaan
ekonomi umat dan hanya berpretensi untuk kepentingan kegiatan-kegiatan ibadah
mahdah. Pada fase ini, pada umumnnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa
peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan, seperti masjid,
mushalla, sekolah, makam, dan lain-lain. Peruntukan yang lebih menjamin
produktivitas dan kesejahteraan umat nampaknya masih belum diterima sebagai
yang inheren dalam wakaf.
Pada fase ini pengelolaan wakaf di Indonesia jauh
ketinggalan dari negara Islam lainnya yang sudah mengarah pada wakaf produktif.
Seperti yang dilakukan di Mesir sejak tahun 1971, pengelolaan wakaf mengalami
kemajuan. Pengelolaan wakaf di negeri ini sudah mengarah kepada pemberdayaan
ekonomi. Pihak pengelola wakaf melakukan kerja sama dengan bank Islam,
pengusaha, developer. Kementerian Perwakafan (Wizarah al Awqaf) di negeri ini
membangun tanah-tanah kosong yang dikelola secara produktif dengan mendirikan
lembaga-lembaga perekonomian, ataupun dalam bentuk pembelian saham di
perusahaan-perusahaan.
2) Periode
Semi Profesional
Periode ini merupakan masa pengelolaan wakaf secara umum masih
sama dengan fase tradisional. Namun, pada masa ini sudah mulai dikembangkan
pola pemberdayaan wakaf produktif, meskipun belum maksimal. Misalnya,
penambahan fasilitas gedung pertemuan, pernikahan, toko atau mini market, dan
fasilitas lainnya yang berada dalam pekarangan masjid yang dibangun di tanah
wakaf. Seperti yang telah dilakukan di Masjid Pondok Indah Jakarta, Masjid
Taqwa Kota Padang, dan beberapa masjid lainnya di Indonesia. Hasilnya digunakan
untuk biaya operasional masjid atau untuk anak yatim piatu. Gedung atau ruangan
tersebut disewakan. Selain itu, juga mulai dikembangkan pemberdayaan tanah
wakaf untuk pertanian, pendirian tempat usaha seperti toko, koperasi,
perbengkelan, penggilingan padi. Hasil usaha digunakan untuk kepentingan
pengembangan di bidang pendidikan. Seperti yang dilakukan Pondok Pesantren
Modern As-Salam Gontor, Badan Wakaf Universitas Indonesia, dan yayasan
pendidikan lainnya.
Kemajuan pengelolaan wakaf yang dilakukan di Indonsia
tersebut setidaknya sudah hampir mendekati kemajuan pengelolaan wakaf yang
telah dilakukan Mesir. Seperti Universitas Al-Azhar di Kairo dengan wakaf yang
amat besar, Universitas mampu membiayai operasional pendidikannya selama
berabad-abad tanpa bergantung pada pemerintah. Bahkan Universitas tersebut
mampu memberikan beasiswa kepada ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia
selama berabad-abad.
3) Periode Profesional
Periode ini
ditandai dengan pemberdayaan potensi wakaf secara produktif. Keprofesionalan
yang dilakukan meliputi, aspek manajemen, SDM nazhir, pola kemitraan usaha,
bentuk wakaf benda bergerak, seperti uang, saham, surat berharga lainnya,
dukungan political will pemerintah secara penuh dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Semangat pemberdayaan potensi wakaf secara
produktif dan profesional adalah untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia
di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, maupun bidang sosial lainnya. Lembaga
pengelola dana wakaf menyalurkan kepada sektor ril secara mudhârabah, atau
menginvestasikannya disektor keuangan syari’ah. Kemudian, hasilnya diberikan
kepada mauquf ‘alaih sesuai dengan tujuan wakaf, seperti yang dilakukan oleh
Tabung Wakaf Indonesia Dompet Dhuafa Republika, Wakaf uang Muamalat Baitul Mal
Muamalat. Hasil dari pengembangan itu dipergunakan untuk keperluan sosial,
seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam,
bantuan pemberdayaan ekonomi umat, dan bantuan untuk pengembangan sarana dan
prasarana ibadah.
Pengelolaan wakaf seperti ini jauh sebelumnya telah dilakukan
di Bangladesh. Sejak tahun 1995 di negara itu didirikan Social Investment Bank
Ltd. (SIBL) yang mengembangkan pasar modal sosial (the Voluntary Capital
Market). Instrumen-instrumen keuangan Islam pun dikembangkan seperti obligasi
pembangunan wakaf properti (Waqf Properties Development Bond), Sertifikat Wakaf
Tunai (Cash Waqf Certificate). Wakaf uang di negara tersebut dapat menggantikan
sebagian pajak penghasilan untuk pembangunan infrastruktur, sosial, dan kemanusiaan.
REGULASI PERWAKAFAN DI INDONESIA
Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan
perkembangan wakaf di era modern adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan
wakaf melalui seperangkat hukum positif. Dalam proses perumusan kebijakan
tersebut, ditentukan oleh bagaimana penguasa melihat potensi maupun organsiasi
wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya, maupun kepentingan umat Islam pada
umumnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan mengenai wakaf atau
filantropi Islam pada umumnya dibuat berdasarkan asumsi-asumsi ideologis menyangkut
relasi antara Islam dan negara serta pertanyaan mengenai seberapa jauh Islam
boleh berperan di ruang publik.
Di masa penjajahan, kegiatan perwakafan
mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu ditandai dengan banyaknya muncul
organisasi keagamaan, sekolah madrasah, pondok pesantren, masjid, yang semuanya
dibangun dengan swadaya masyarakat di atas tanah wakaf.
Politik pemerintah pada
masa ini mengenai filantropi Islam tunduk pada rasionalitas politik Islam
Hindia Belanda. Di mana Islam sebagai sistem nilai dibatasi sedemikian rupa
sehingga ia dipraktekkan dalam kerangka ritual-personal semata. Rasionalitas
semacam ini membuat tradisi wakaf sebagai lembaga pelayanan sosial. Namun,
karena aktivitas filantropi Islam seringkali bersinggungan dengan hubungan
antarmasyarakat maka pemerintah kolonial pada akhirnya memandang perlu untuk
mengatur dengan ketentuan-ketentuan hukum, seperti:
a) Surat Edaran Sekretaris
Guberneman Tanggal 31 Januari 1905 Nomor 435 sebagaimana termuat dalam Bijblad
Nomor 6196 Tahun 1905, Tentang Toezicht Op Den Bouw Van Mohammedaansche
Bedehuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah di Jawa dan
Madura supaya bupati mendata rumah-rumah ibadah.
b) Surat Edaran Sekretaris
Gubernemen Tanggal 4 Juni 1931 Nomor 1361/A sebagaimana termuat dalam Bijblad
Nomor 12573 Tahun 1931, Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche
Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat edaran ini mengatur tentang
keharusan adanya keizinan bupati dalam berwakaf. Bupati memerintahkan agar wakaf
yang diizinkan dimasukkan ke dalam daftar yang dipelihara oleh ketua Pengadilan
Agama yang diberitahukan kepada Asisten Wedana yang selanjutnya dilaporkan ke
Kantor Landrente.
c) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 24 Desember
1934 Nomor 3088/A sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 12573 Tahun 1934,
Tentang Toezich Van De Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten
En Wakafs. Dalam surat edaran ini diatur, tentang kewenangan bupati dalam
menyelesaikan sengketa dalam pelaksanaan shalat jum’at bila diminta oleh para
pihak.
d) Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A
sebagaimana termuat dalam Bijblad Nomor 13480 Tahun 1935 Tentang Toezich Van De
Regeering Op Mohammedaansche Bedehuizen, Vrijdagdiensten En Wakafs. Surat
edaran ini hanya mempertegas surat edaran sebelumnya, dimana bupati dapat
melakukan pendataan harta wakaf.
Sayangnya, peraturan yang dibuat tidak
sepenuhnya didasarkan pada keinginan politik (political will) yang jujur serta
pemahaman yang benar tentang hakikat dan tujuan wakaf. Akibatnya,
peraturan-peraturan ini mendapat reaksi dari organisasi-oraganisasi Islam
karena orang yang akan berwakaf harus mendapat izin pemerintah. Sementara itu
umat Islam memandang perwakafan merupakan tindakan hukum privat sehingga tidak
perlu ada izin dari pemerintah. Reaksi ini merupakan penolakan terhadap campur
tangan pemerintah kolonial terhadap urusan-urusan yang berhubungan dengan agama
Islam. Ini berarti peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki
arti penting bagi pengembangan wakaf, selain untuk memenuhi formalisme
administratif semata.
Formalisme
ini terus berlangsung sampai masa kemerdekaan. Politik filantropi Islam pada
masa Orde Lama tidak mengalami perubahan mendasar. Peraturan-peraturan yang
mengatur perwakafan zaman kolonial, pada zaman kemerdekaan masih tetap
diberlakukan, karena peraturan perwakafan yang baru belum ada. Ada pun
peraturan yang mengatur wakaf pada masa orde lama adalah:
(1) Peraturan
Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 yang memberikan kewenangan kepada Menteri Agama
untuk mengurus wakaf. Selanjutnya PP ini ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri
Agama Nomor 9 Tahun 1952 yang memberikan kewenangan kepada Kepala Kantor Urusan
Agama Kabupaten untuk menyelidiki, mendata, dan mengawasi penyelenggaraan
perwakafan. Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Agraria
Tanggal 5 Maret 1959 Nomor Pem.19/22/23/7: S.K./62/Ka/59P., mengalihkan
kewenangan bupati sebagai pengawas harta wakaf menjadi tugas Kepala Pengawasan
Agraria. Secara hirarki peraturan hukum di Indonesia, jelas peraturan-peraturan
ini masih lemah. Kemudian, aturan tentang wakaf dimasukkan dalam undang-undang
agraria.
(2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria. Dalam Pasal 49 undang-undang ini menyatakan, negara
melindungi keberlangsungan perwakafan di Indonesia dengan mengaturnya secara
khusus dalam peraturan pemerintah, Namun, peraturan pemerintah itu baru lahir
tahun 1977.
Peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia berkaitan
dengan perwakafan seperti yang terjadi pada orde lama tidak memiliki arti
penting bagi pengembangan wakaf selain hanya untuk memenuhi formalisme
administratif semata. Hal ini dikarenakan pemerintah pada masa orde baru ini
lebih berkonsentrasi untuk memperkuat diri di atas kekuatan-kekuatan sipil
terutama Islam, sembari menjalankan agenda sekularisasi politiknya secara
konsisten, malah Islam hampir termarginalkan.
Keadaan ini terus berlangsung
sampai paroh kedua dasarwarsa 1980-an ketika secara mengejutkan Islam mulai
diterima di ruang publik. Ada pun peraturan perwakafan yang lahir pada masa
orde baru adalah:
(a) Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik.
Dengan adanya peraturan pemerintah ini, perwakafan tanah
milik di Indonesia mulai memasuki babak baru. Perwakafan tanah milik di
Indonesia mulai tertib dan terjaga. Ini merupakan peraturan pertama yang memuat
substansi dan teknis perwakafan.
Selama ini di Indonesia, peraturan yang
mengatur perwakafan kurang memadai sehingga banyak muncul persoalan perwakafan
di tengah masyarakat, seperti banyaknya sengketa tanah wakaf. Tanah wakaf yang
statusnya tidak jelas, banyak benda wakaf yang tidak diketahui keadaannya,
penyalahgunaan harta wakaf, dan sebagainya. Hal ini karena tidak adanya
keharusan untuk mendaftarkan benda-benda wakaf. Barulah dengan ditetapkannya
peraturan pemerintah ini perwakafan mempunyai dasar hukum yang kuat.
Dengan
keluarnya peraturan pemerintah ini, seluruh peraturan yang mengatur perwakafan
seperti yang tercantum dalam Bijblad Nomor 6196 tahun 1905, dan bijblad tahun
1931 Nomor 12573, serta bijblad tahun 1935 Nomor 13480 sepanjang bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1977 ini dinyatakan tidak berlaku
lagi.
Selanjutnya, peraturan pemerintah ini ditindaklanjuti dengan keluarnya
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 Tentang Pendaftaran
Perwakafan Tanah Milik, dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 Tentang
Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik dan peraturan pelaksana teknis lainnya. Walaupun peraturan
pemerintah telah dikeluarkan, dalam perjalanannya ternyata perturan-peraturan
perwakafan yang ada ini belum berjalan secara efektif dalam menertibkan
perwakafan di Indonesia. Untuk itu tanggal 30 November 1990 dikelurkan
Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor. 4
Tahun 1990 dan Nomor 24 Tahun 1990 Tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
(b)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
Instruksi
yang dikeluarkan tangggal 5 Februari 1991 ini adalah pedoman bagi instansi
pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah di bidang perwakafan khususnya yang termuat dalam buku III.
Kemudian inpres ini ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama No 154
Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991, meminta kepada seluruh instansi di lingkungan
Departemen Agama termasuk Peradilan Agama untuk menyebarluaskan KHI. Aturan
yang dimuat dalam buku III tentang perwakafan ini membawa pembaharuan dalam
pengelolaan wakaf walaupun secara substansi masih berbentuk elaborasi dari
aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik.
Di sisi lain, instruksi presiden yang terdapat dalam
buku III ini sebetulnya belum cukup merevitalisasi sektor wakaf. KHI masih
mengadopsi paradigma lama yang literal yang cenderung bersifat fiqih minded.
Hal ini terlihat dari materi hukum yang dicakup merupakan bentuk unifikasi
pendapat-pendapat mazhab dan Hukum Islam di Indonesia yang berkaitan dengan
perwakafan.
Sejalan
dengan bergulirnya gelombang reformasi dan demokratisasi dipenghujung tahun
1990-an, membawa perubahan dan mengokohkan Islam sebagai salah satu kekuatan
politik di panggung nasional, sampai munculnya undang-undang yang secara khusus
mengatur wakaf. Pemerintah RI mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk
undang-undang.
Pada masa reformasi, peraturan perwakafan berhasil disahkan
adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang–undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang
pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf.
Pengesahan
undang-undang ini merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan
umum, meningkatkan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan saja,
tetapi juga memiliki kekuatan ekonomi yang potensial untuk memajukan
kesejahteraan umum.
Di samping itu, dengan disahkannya undang-undang ini, objek
wakaf lebih luas cakupannya tidak hanya sebatas benda tidak bergerak saja, tapi
juga meliputi benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, hak
sewa dan sebagainya.
Campur
tangan pemerintah terhadap wakaf hanya bersifat pencatatan dan mengawasi
pemeliharaan benda-benda wakaf agar sesuai dengan tujuan dan maksud wakaf.
Pemerintah sama sekali tidak mencampuri, menguasai, atau menjadikan benda wakaf
menjadi milik negara. Kehadiran Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
secara simbolik menandai kemauan politik negara untuk memperhatikan
permasalahan sosial umat Islam.
Perkembangan peraturan perundang-undangan
tentang wakaf hari ini sangat ditentukan oleh dinamika internal umat Islam serta
hubungan harmonis antara Islam dan negara. Iklim politik yang kondusif ini
memungkinkan berkembangnya filantropi Islam seperti wakaf. Selain itu,
demokrasi menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara
konstitusional.
Pada akhirnya, politik filantropi Islam ditentukan oleh proses
integrasi/nasionalisasi gagasan sosial-politik Islam ke dalam sistem dan
konfigurasi sosial politik nasional.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif sebab di
dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan
potensi wakaf secara modern.
Dalam undang-undang wakaf yang baru ini konsep
wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak,
maupun yang bergerak, termasuk wakaf uang yang penggunaannya sangat luas, tidak
terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum
yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner.
Jika dapat
direalisasikan, akan memunculkan pengaruh yang berlipat ganda terutama dalam
kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian, Undang-undang
Nomor 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social
engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat
Islam agar senafas dengan semangat undang-undang tersebut.
Dengan
disahkannya undang-undang wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi
ideologis menuju visi sosial ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu
pembentukan proses integrasi gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan
konfigurasi sosial politik nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi
mereka lebih bermakna. Apabila mereka kuat secara sosial dan ekonomi dan tidak
hanya sekedar unggul dalam statistik.
Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat,
negara akan lebih memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan
umat Islam.
Dengan memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya
undang-undang wakaf, sangat terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib
hukum. Selain bermaksud mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam,
pemerintah menyadari bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat.
Karenanya tidak mengherankan, pemerintah
diwakili Departemen Agama memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi
dan menfasilitiasi lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sesuai
dengan kehendak politik yang tertuang dalam undang-undang ini pemerintah
bukanlah sebagai pelaksana operasional pengelola wakaf tapi pemerintah hanya
berfungsi sebagai regulator, motivator, fasilitator, dan publik servis bagi
pengelolaan wakaf. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah dibantu oleh Badan
Wakaf Indonesia (BWI).
Setelah lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf, pemerintah (Departemen Agama) melakukan berbagai upaya dalam
rangka mendorong dan menfasilitasi agar pengelolaan wakaf dapat dilakukan
secara profesional, amanah, dan transparan sehingga tujuan pengelolaan wakaf
dapat tercapai.
Untuk itu, sebagai langkah kongkrit Departemen Agama dalam
merespon kebutuhan tersebut, dibentuklah Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang
berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Dengan
lahirnya Direktorat Pemberdayaan Wakaf yang terpisah dari Direktorat
Pemberdayaan Zakat merupakan bentuk kesungguhan pemerintah dalam mendorong dan
menfasilitasi bagi pemberdayaan wakaf secara lebih baik.
UNSUR-UNSUR DAN SYARAT WAKAF
Unsur Wakaf menurut Pasal 6 UU No. 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, yaitu:
1. Wakif
(Orang yang berwakaf)
2. Nazhir
(Penerima wakaf)
3. Harta
Benda Wakaf
4. Ikrar
Wakaf
5. Peruntukan
Harta Benda Wakaf
6. Jangka
Waktu Wakaf
Beberapa
persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam melaksanakan wakaf, di antaranya
ialah:
1. Tujuan
wakaf tidak boleh bertentangan dengan kepentingan agama Islam. Oleh karena itu
mewakafkan rumah untuk dijadikan tempat ibadah agama lain, tidak sah. Tapi
kalau misalnya mewakafkan tanah untuk dijadikan jalanan umum yang akan dilalui
oleh orang Islam dan Non Islam, tidak mengapa.[2]
2. Tidak
mewakafkan barang yang semata-mata menjadi larangan Allah yang menimbulkan
fitnah.[3]
Kalau
wakaf diberikan melalui wasiat, yaitu baru terlaksana setelah si wakif meninggal
dunia, maka jumlah atau nilai harta yang diwakafkan tidak boleh lebih dari 1/3
sebagian jumlah maksimal yang boleh diwasiatkan.
TUJUAN DAN FUNGSI WAKAF
TATA CARA PELAKSANAAN WAKAF
Menurut
Peraturan Pemerintah No 42 tahun 2006 tentang Wakaf:
1.
Wakaf untuk
barang tidak bergerak
a) Pendaftaran
harta benda wakaf tidak bergerak berupa tanah dilaksanakan berdasarkan AIW
(Akta Ikrar Wakaf atau APAIW (Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf).
b) Selain
persyaratan diatas dilampirkan juga persyaratan sebagai berikut:
1) sertifikat
hak atas tanah atau sertifikat hak milik atas satuan rumah susun yang
bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
2) surat
pernyataan dari yang bersangkutan bahwa tanahnya tidak dalam sengketa, perkara,
sitaan dan tidak dijaminkan yang diketahui oleh kepala desa atau lurah atau
sebutan lain yang setingkat, yang diperkuat oleh camat setempat;
3) izin
dari pejabat yang berwenang sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan dalam
hal tanahnya diperoleh dari instansi pemerintah, pemerintah daerah, BUMN/BUMD
dan pemerintahan desa atau sebutan lain yang setingkat dengan itu;
4) izin
dari pejabat bidang pertanahan apabila dari sertifikat dan keputusan pemberian
haknya diperlukan izin pelepasan/peralihan.
5) izin
dari pemegang hak pengelolaan atau hak milik dalam hal hak guna bangunan atau
hak pakai yang diwakafkan di atas hak pengelolaan atau hak milik.
2.
Wakaf Untuk
barang bergerak selain uang
PPAIW (Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf) mendaftarkan AlW dari:
a) benda
bergerak selain uang yang terdaftar pada instansi yang berwenang;
b) benda
bergerak selain uang yang tidak terdaftar dari yang memiliki atau tidak
memiliki tanda bukti pembelian atau bukti pembayaran didaftar pada BWI, dan
selama daerah tertentu belum dibentuk BWI, maka pendaftaran tersebut dilakukan
di Kantor Departemen Agraria setempat.
c) Untuk
benda bergerak yang sudah terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti kepemilikan
benda bergerak kepada PPAIW dengan disertai surat keterangan pendaftaran dari
instansi yang berwenang yang tugas pokoknya terkait dengan pendaftaran benda
bergerak tersebut.
d) Untuk
benda bergerak yang tidak terdaftar, Wakif menyerahkan tanda bukti pembelian
atau tanda bukti pembayaran berupa faktur, kwitansi atau bukti lainnya.
e) Untuk
benda bergerak yang tidak terdaftar dan tidak memiliki tanda bukti pembelian
atau tanda bukti pembayaran, Wakif membuat surat pernyataan kepemilikan atas
benda bergerak tersebut yang diketahui oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan
oleh instansi pemerintah setempat.
3.
Wakaf Untuk
Uang
a) LKS-PWU
(Lembaga Keuangan Syariah) atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf uang kepada
Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat
Wakaf Uang.
b) Pendaftaran
wakaf uang dari LKS-PWU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada
BWI untuk diadministrasikan.
c) Ketentuan
lebih lanjut mengenai administrasi pendaftaran wakaf uang diatur dengan
Peraturan Menteri.
Menurut Buku
III Kompilasi Hukum Islam:
(1)
Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.
(2)
Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(3)
Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah jika
dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(4)
Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan
diharuskan menyerahkan kepada Pejabat yang tersebut dalam Pasal 215 ayat (6),
surat-surat sebagai berikut:
a) tanda
bukti pemilikan harta benda;
b) jika
benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai surat
keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang
menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud;
c) surat
atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.
PRAKTEK PERWAKAFAN TANAH SEBAGAI WUJUD KEPEDULIAN UMAT
Menuju
waqaf yang produktif tentu saja tidak semudah membalikan telapak tangan kerana
banyak halangan-halangan yang harus dihadapi. Halangan yang paling
menonjol yang dirasakan adalah ketika perbincangan tentang waqaf hanya
dilakukan dalan batas tinjauan ”hukum” dan tidak dilakukan
melalui ekonomis. Kenyataan yang paling mudah dirasakan ialah ketidak mampuan
harta waqaf menaikkan angka kemiskinan ditengah-tengah masyarakat. Berlainan
pula jika waqaf dipandang melaui tinjauan ”sosial ekonomi” sehinggan
keberadaannya benar-benar memberikan erti yang mendasar dalam kehidupan
umat.Kepentingan untuk meninjau waqaf melalui kaca mata ” sosial
ekonomi” ini kerana harta wakaf itu sendiri termasuk salah
satu pilar yang dapat menyokong perekonomian umat bila dikelola dengan
tepat.
Penggunaan harta wakaf pada
masyarakat masih bersifat konsumtif dan masih banyak lagi yang belum difungsikan
secara baik. Hal ini mengindikasikan bahawa perkembangan wakaf secara totalitas
belum menggembirakan dan bahkan terkesan kontraproduktif. Kontraproduktif ini
muncul disebabkan pengelolaan wakaf selama ini hanya sebatas ibadah kepada
Allah dan jarang sekali menyentuh keperluan apek-aspek sosial . Sebagai contoh
bahawa keberadaan masjid yang diwaqafkan hanya dipergunakan untuk persoalan
ibadah kepada Allah seperti sholat.Demikian juga halnya sejumlah tanah wakaf
yang hanya dijadikan sebagai kuburan adalah merupakan bukti bahawa wakaf belum
dapat memberi sifat-sifat produktifnya.
Dalam konteks pembangunan masyarakat
Islam sumbangan tanah wakaf produktif pada masa sekarang ini merupakan suatu
pengganti untuk meningkatkan pertumbuhan serta pembangunan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Pada umumnya wakaf tanah yang merupakan sumbangan
yang memberikan hasil positif apabila pengelolaannya dibawah kawasan umat Islam
seperti di bandar Medan ( Sumatera Utara). Dari data yang tersenarai ternyata
semua tanah wakaf yang terletak di negeri Sumatera Utara yang luasnya
100.898.713 M2 dan jumlah luas tanah wakaf yang sudah dimanafaatkan di negeri
Sumatera Utara adalah 4.414.817 M2 hanya ( 4 peratus ) . Ini bererti terdapat
96.483.896 M2(96 peratus) tanah wakaf di negeri Sumatera Utara yang
belum dimanafaatkan.[4]
Dengan banyak tanah wakaf yang
terbiar dan tidak dikelola dengan baik. Maka dengan adanya konsep pemanafaatkan
wakaf tanah produktif ini dapat memberikan keberkesanan terhadap
perkembangan ekonomi umat islam dan dapat juga diagihkan kepada sektor
riil ekonomi lain serta dapat meringankan kehidupan masyarakat
Islam antara lain, membantu meningkatkan pendapatan masyarakat Islam,
meningkatkan taraf pendidikan yang mempunyai daya saing yang kuat dan
semakin maju serta tahap kesihatan yang lebih baik. Dengan terlaksananya
sumbangan bentuk wakaf tanah produktif yang dikelola dengan baik, maka
diharapkan akan memperbaiki sosio-ekonomi masyarakat.
Dalam menjalankan wakaf tanah
produktif berhasil atau tidak berhasilnya pada, pihak-pihak yang paling
berperan aktif dalam pengelolan dan sumbangan harta wakaf adalah bahagian pihak
Nazir wakaf, yaitu seorang, kelompok orang atau badan hukum yang diserahkan
tugas oleh wakif untuk mengelola tanah. Namun demikian manafaat dari hasil
harta wakaf ini, maka wujud nazir secara profesional sangat diperlukan bahkan
menduduki pada peranan pusat dalam pengelolan wakaf tersebut. Sebab di
bawah kuasa Nazirlah tanggung jawab dan kewajiban memelihara, menjaga dan mengembangkan
wakaf serta menyalurkan hasil dan manfaatnya.
KESIMPULAN
Wakaf
adalah salah satu instrumen ekonomi Islam yang mengabungkan kedua -dua aspek
rohani dan material yang merupakan suatu institusi pembangunan ummat yang
sangat seimbang dan pentingnya dalam pembangunan ekonomi umat.
Dengan disahkannya undang-undang
wakaf, agenda politik umat bergeser dari orientasi ideologis menuju visi sosial
ekonomi yang lebih pragmatis. Situasi ini membantu pembentukan proses integrasi
gagasan sosial politik Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial politik
nasional. Umat mulai menyadari bahwa eksistensi mereka lebih bermakna. Apabila
mereka kuat secara sosial dan ekonomi dan tidak hanya sekedar unggul dalam
statistik. Dengan posisi sosial ekonomi yang kuat, negara akan lebih
memperhitungkan berbagai aspirasi, negosiasi, dan gerakan umat Islam.
Dengan
memperhatikan konteks dan latar belakang lahirnya undang-undang wakaf, sangat
terkait dengan motif politik, ekonomi, dan tertib hukum. Selain bermaksud
mengakomodasi kepentingan sosial-religius umat Islam, pemerintah menyadari
bahwa berkembanganya lembaga wakaf dapat meningkatkan kesejahteraan sosial
masyarakat. Karenanya tidak mengherankan, pemerintah diwakili Departemen Agama
memainkan peranan yang signifikan dalam menginisiasi dan menfasilitiasi
lahirnya seperangkat peraturan filantropi, khususnya Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Dengan banyak tanah wakaf yang
terbiar dan tidak dikelola dengan baik. Maka dengan adanya konsep pemanafaatkan
wakaf tanah produktif ini dapat memberikan keberkesanan terhadap
perkembangan ekonomi umat islam dan dapat juga diagihkan kepada sektor
riil ekonomi lain serta dapat meringankan kehidupan masyarakat
Islam antara lain, membantu meningkatkan pendapatan masyarakat Islam,
meningkatkan taraf pendidikan yang mempunyai daya saing yang kuat dan
semakin maju serta tahap kesihatan yang lebih baik. Dengan terlaksananya
sumbangan bentuk wakaf tanah produktif yang dikelola dengan baik, maka
diharapkan akan memperbaiki sosio-ekonomi masyarakat.
[1] Drs. H. Adijani Al-Alabij, S.H., Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hlm
25
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
§ Undang-Undang
No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
§ Peraturan
Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
§ Kompilasi
Hukum Islam
Buku:
§
Drs. H. Adijani Al-Alabij, S.H., Perwakafan Tanah di Indonesia, Rajawali
Pers, Jakarta, 2002
§
Departemen Agama RI 2005, Klasifikasi
Pemanfaatan Tanah Wakaf Se-Sumatera Utara dan Kalimantan,
Penerbit, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Dirjen Bimas Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Jakarta
No comments:
Post a Comment
Silahkan berikan komentar dengan baik!